Namaku Bahri Al Rasit.
Keluarga dan teman-temanku lebih suka memanggilku Rasit, namun guru-guruku
biasa memanggilku Bahri karena itu nama depanku. Umurku baru 9 tahun. Aku
bersekolah di salah satu sekolah dasar negeri di kota Depok, Jawa Barat. Aku memiliki
keluarga yang sangat mencintaiku. Ada ayah, ibu, dan Rahmi Arum adikku yang
kata ibu masih berumur 2 tahun. Rahmi adalah adik yang sangat lucu dan cantik,
matanya bulat rambutnya hitam lurus dan pipinya tembem aku sangat menyayanginya
walau sebenarnya dulu aku sangat benci bila harus memiliki adik, karena kasih
sayang ibu berkurang padaaku. Aku tak bisa bermanja-manja karena ibu sibuk
mengurus adik kecilku. Namun itu membuatku lebih mandiri dan tahu akan
tanggungjawab.
Ibuku bernama Suharti, dia adalah ibu yang sangat menyayangi
keluarga. Ayahku bernama Rahmadi, dia adalah Ayanh yang selalu mengayomi kami,
hingga aku bangga memiliki ayah seperti dia. Kami hidup sederhana, rumahku tak
jelek dan tak terlalu bagus. Ibuku adalah ibu rumah tangga dan ayah seorang
pegawai di salah satu PT di Jakarta.
Aku memiliki dua sahabat
yang selalu bersama-sama sejak kami kecil hingga sekarang. Mereka adalah Ardi
dan Sandra. Andri adalah anak yang selalu penuh ide yang cemerlang. Aku senang
berteman dengan Ardi karena dia selalu membuat acara bermain tidak membosankan.
Ardi adalah anak orang kaya, ayahnya adalah direktur sebuah perusahaan di kota
Depok. Karena itu Andri memiliki mainan yang banyak dan mewah. Kalau Sandra dia
adalah perempuan yang cantik dan selalu ceria, dia selalu menghangatkan suasana
ketika kita bermain. Walau Sandra seorang perempuan tapi dia tak segan-segan
bermain perminan laki-laki sepert bermain perang-peranggan atau bermain
kelereng. Menurutku dia adalah satu-satunya perempuan yang menyenangkan. aku
selalu membandingkan Sandra dengan teman-teman perempuan sekelasku namun hanya
baju yang mereka kenakan saja yang sama sedang cara bermain Sandra berbeda dari
mereka.
Kami memiliki tempat
bermain rahasia, kami sebut tempat itu markas. Markas kami terletak di atas
pohon di belakang rumah Sandra. Markas itu kakek Sandra yang membuatnya, aku
juga pernah melihat tempat seperti markas kami difilm tapi mereka menyebut
tempat itu rumah pohon. Aku pernah bilang pada Ardi dan Sandra kalau markas
kita itu namanya rumah pohon, namun Ardi dan Sandra lebih suka tempat itu
diberi nama markas karena lebih keren. Disanalah kami bermain, tertawa, dan
menangis. Hingga suatu hari sepulang dari aku bermain aku dapati ayah dan ibu
bertengkar hebat. Saat itu aku tak tahu apa yang mereka debatkan. Meja, kusi,
dan buku diatas rak sudah tak pada tempatnya. Rahmi pun menangis karena
ketakutan digendongan ibu, suara Rahmi hampir habis karena sudah terdengar
sangat parau dan mulai hilang. Namun ibu dan ayah mesih tetap berdebat sambil
mennunjuk-nunjuk satu sama lain. Aku kini merasa sangat ketakutan, wajah mereka
tak seperti biasanya. Mereka berubah menyeramkan seperti singa yang siap untuk
menerkam mangsanya. Aku hanya berdiri ketakutan di depan pintu tak terasa air
mataku menetes. Entah apa yang mereka bicarakan tapi tiba-tiba ibu memandang
keluar sehingga matanya mengarah padaku yang berdiri tepat di depan pintu.
Saat itu aku dengar jelas
ayah mengacungkan tangannya sambil berteriak menyuruh ibu keluar rumah ini. Aku
semakin diselimuti rasa ketakutan yang hebat sampai-sampai air mataku
bercucuran sangat deras. Dengan wajah yang memerah dan berderai air mata ibu
melangkah menuju pintu menuruti perintah ayah, lalu dengan kasar ibu menarik
tanganku yang gemetar dan dingin karena takut itu keluar rumah. Kami berjalan
tanpa tujuan yang jelas kami berjalan masih dengan air mata yang terus saja
bercucuran. Aku masih bingung ibu hendak mengajakku dan Rahmi kemana karena sepanjang
perjalanan ibu tak bicara sepatah kata pun. Aku melihat orang-orang dipinggir jalan
mengamati kami, mungkin mereka merasa aneh pada kami. Aku merasa malu saat itu
karena tak urung mata mereka dari kami.
Sudah cukup jauh dari
rumah ibu menarik tanganku. Dibawah pohon yang sangat rindang dan teduh ibu
tiba-tiba berhenti secara tiba-tiba. Dia memejamkan mata sebentar dan
memandangiku. Aku jadi merasa takut dan bingung, tak tahu apa yang akan ibu
lakukan. Namun kemudian ibu melepaskan gandengan tangannya padaku dan ibu duduk
di bawah pohon rindang itu. Ia menangis semakin menjadi sambil menutupi
matanya. Perlahan aku mendekatinya dan memberanikan bertanya pada ibu mengapa
ibu menangis. Tapi ibu masih saja menangis, tak menghiraukan pertanyaanku.
Sedang ku lihat Rahmi tertidur pulas digendongan ibu, mungkin Rahmi kelelahan
karena menangis. Lalu aku coba lagi melontarkan pertanyaan yang sama pada ibu,
tapi masih saja ibu tak menghiraukan. Namun tetap saja aku menanyakan pada ibu
pertanyaan yang sama hingga berulang-ulang. Mungkin karena terusik ibu langsung
menyeka air mataanya dan memelukku sambil mencoba menjawab pertanyaanku. Kata
ibu tidak apa-apa tapi saat menjawab suara ibu terdengar bergetar dan aku
merasakan air matanya terjatuh di pundakku. Hingga aku menyerah untuk bertanya
padanya. Aku hanya terdiam dipelukan ibu. Walaupun saat itu ibu bermuka
menyeramkan namun pelukan ibu masih tetap nyaman dan hangat seperti biasanya.
Aku merasa sangat nyaman berada dipelukan ibu hingga aku tertidur dipelukan ibu.
Cukup lama aku tertidur. Hingga gerakan mendadak ibu membangunkanku dari
pelukannya.
“ Kita mau kemana lagi
bu.?” Tanya ku.
“ Kita akan jalan-jalan.”
Jawab ibu singkat.
Kemudian ibu berjalan
sambil menggandengku persis seperti tadi saat kami meninggalkan rumah, namun
saat ku pandang wajah ibu ia tak menangis lagi seperti tadi. Aku sedikit
bahagia karena ibu tak mengeluarkan air mata lagi, hingga orang-orang tak
melihat kami dengan aneh lagi. Setelah berjalan jauh ibu berhenti tepat di
pinggir sebuah jembatan yang berarus sungai sedang. Aku tak tahu dimana tempat
itu, karena aku tak pernah bermain ke tempat itu. Tempat itu cukup sepi. Hanya
beberapa truk besar pengangkut pasir saja yang lewat dan beberaapa sepeda motor
yang melaju sangat cepat.
“ Kita dimana?” Tanyaku.
“ Entahlah ibu juga tak
tahu.” Jawab singkat ibu.
Aku semakin tak mengerti
dan bingung saat itu. Tiba-tiba ibu mendekat padaku dan memelukku lalu menciumi
aku dan Rahmi. Aku semakin tak mengerti lagi, karena taak biasanya ibu
melakukan ini. Hingga Rahmi terbangun dari tidurnya karena terusik oleh
ciuman-ciuman ibu pada pipi dan dahinya.
“ Apa kau menyayangi ibu?” tanya ibu secara
tiba-tiba.
Aku hanya menganggukan
kepala untuk menjawab pertanyaan ibu.
“ Kalau kau menyayangi
ibu, lakukan hal yang sama seperti yang ibu lakukan!” perintah ibu secara
lembut.
“ Apa maksud ibu?”
tanyaku bingung. Aku semakin dibuat bertanya-tanya akan tingkah ibu yang tak
dapat aku mengerti.
“ Sudahlah lakukan dan
ikuti saja apa yang ibu lakukan.” Perintah ibu.
Lalu ibu menuju tepi
jembatan yang memiliki pembatas berkarat itu. Tanpa basa-basi ibu panjat pagar
berkarat itu dan langsung menerjunkan dirinya ke bawah sungai aku terkejut dan
langsung menghampiri dan melihat kebawah jembatan. Aku masih mendengar tangisan
Rahmi. Namun tiba-tiba hilang begitu saja. Aku mencari kesetiap sudut-sudut
sungai namun percuma, aku tak dapat menemukan ibu dan Rahmi disana. Aku
ketakutan di situ, hingga aku teringat akan kata-kata ibu tadi untuk mengikuti
apa yang dilakukan ibu. Kemudian aku mendekati pegar jembatan yang berkarat
tadi bermaksud melakukan hal yang sama seperti ibu. Aku takut jika aku tak
melakukan hal yang sama ibu akan marah padaku, sedang ibu dan Rahmi pasti telah
menungguku dibawah sana untuk jalan-jalan. Seperti kata ibu tadi dibawah pohon
besar. Namun aku takut melakukan seperti yang ibu lakukan ketika ku lihat
ketinggian tempat itu. Hingga aku hanya dapat menangis dan berteriak-teriak
memanggil ibu dan Rahmi dari atas jembatan, berharap mereka mendengar dan
kembali keatas untuk menjemputku.
Ku rasa sudah terlalu
lama aku berteriak memanggil mereka namun tak ada jawaban dari mereka. Aku
semakin takut saja bila ibu marah padaku. Suaraku sekarang semakin hilang, aku
tak tahu kenapa suaraku tiba-tiba memudar. Hingga aku dihampiri seorang wanita
agak tua yang pulang dari sawah dan menanyaiku kenapa aku disitu. Aku
menjelaskan bahwa tadi ibu mengajakku dan adikku jalan-jalan tapi ibu hanya
mengajak Rahmi dan meninggalkan aku disini. Lalu dia bertanya kearah mana ibuku
dan Rahmi pergi meninggalkan aku. Langsung saja aku menunjuk kebawah jembatan
itu berharap wanita itu mau mengantarku menemui ibu dan Rahmi adikku. Tapi
bukannya ia mengantarku dia malah menggendongku sambil menangis kelakutan dan
menju perkampungan terdekat. Aku meronta-ronta memanggil ibu dan Rahmi, karena
takut kalau-kalau aku diculik wanita itu.
Sampai diperkampungan
dengan terengah-engah wanita itu bicara pada seorang laki-laki yang berwibawa
dan bilang kalau ada orang bunuh diri di jembatan, sambil menunjuk arah
jembatan tempat kami bertemu. Bapak-bapak itu panik dan memanggil warga ungtuk
menuju jembatan itu. Aku masih saja berada di gendongan wanita tadi, masih tak
mengerti apa yang terjadi. Lalu wanita tadi bertanya padaku dimana aku tinggal.
Tapi aku tak tahu alamat rumahku. Wanita itu lalu bertanya dimana sekolahku dan
aku memberi tahu dimana aku sekolah. Lalu dia menyuruh orang untuk pergi ke
sekolahku. Aku semakin tak tahu apa sebenarnya ini, padahal aku dan ibu akan
berjalan-jalan tapi wanita itu tan mengantarku malah mengajak kerumahnya.
Beberapa saat kemudian
datang ayah dan laki-laki suruhan wanita itu menghampiriku. Wajah ayah tak
menyeramkan seperti tadi Ayah langsung menggendongku dan memeluk ku erat.
Sebenarnya aku masih benci pada ayah atas kejadian tadi. Tapi ayah menangis
sambil memeluk tubuhku. Hingga aku mencoba memaafkannya. Kemudian ayah
menggendongku menuju jembataan tadi dimana ibu dan Rahmi meninggalkanku
sendiri. Aku melihat sudah ada banyak orang disana. Dengan semangat aku
bercerita pada ayah bagaimana ibi dan Rahmi pergi menuju bawah jembatan untuk jalan-jalan.
Ayah meneteskan air mata dan mengajakku pulang kerumah. Tak beberapa lama
sepulangku dari jembatan tadi, banyak orang yang daatang kerumah kami. Aku
semakin tak mengerti saja apa yang telah terjadi. Hingga ketika ibu dan Rahmi
dibawa pulang namun mereka hanya tidur tak mau bangun dan tubuh mereka dingin.
Aku sadar mereka telah meninggal saat aku kemakam dan menyeksikan tubuh ibu dan
Rahmi dimasukkan kedalam tanah. Seketika aku menangis dan menjerit histeris
memanggil nama mereka.
***
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar