Translate

Rabu, 04 Juli 2012

KEPERGIANNYA


Namaku Bahri Al Rasit. Keluarga dan teman-temanku lebih suka memanggilku Rasit, namun guru-guruku biasa memanggilku Bahri karena itu nama depanku. Umurku baru 9 tahun. Aku bersekolah di salah satu sekolah dasar negeri di kota Depok, Jawa Barat. Aku memiliki keluarga yang sangat mencintaiku. Ada ayah, ibu, dan Rahmi Arum adikku yang kata ibu masih berumur 2 tahun. Rahmi adalah adik yang sangat lucu dan cantik, matanya bulat rambutnya hitam lurus dan pipinya tembem aku sangat menyayanginya walau sebenarnya dulu aku sangat benci bila harus memiliki adik, karena kasih sayang ibu berkurang padaaku. Aku tak bisa bermanja-manja karena ibu sibuk mengurus adik kecilku. Namun itu membuatku lebih mandiri dan tahu akan tanggungjawab.
Ibuku bernama Suharti, dia adalah ibu yang sangat menyayangi keluarga. Ayahku bernama Rahmadi, dia adalah Ayanh yang selalu mengayomi kami, hingga aku bangga memiliki ayah seperti dia. Kami hidup sederhana, rumahku tak jelek dan tak terlalu bagus. Ibuku adalah ibu rumah tangga dan ayah seorang pegawai di salah satu PT di Jakarta.
Aku memiliki dua sahabat yang selalu bersama-sama sejak kami kecil hingga sekarang. Mereka adalah Ardi dan Sandra. Andri adalah anak yang selalu penuh ide yang cemerlang. Aku senang berteman dengan Ardi karena dia selalu membuat acara bermain tidak membosankan. Ardi adalah anak orang kaya, ayahnya adalah direktur sebuah perusahaan di kota Depok. Karena itu Andri memiliki mainan yang banyak dan mewah. Kalau Sandra dia adalah perempuan yang cantik dan selalu ceria, dia selalu menghangatkan suasana ketika kita bermain. Walau Sandra seorang perempuan tapi dia tak segan-segan bermain perminan laki-laki sepert bermain perang-peranggan atau bermain kelereng. Menurutku dia adalah satu-satunya perempuan yang menyenangkan. aku selalu membandingkan Sandra dengan teman-teman perempuan sekelasku namun hanya baju yang mereka kenakan saja yang sama sedang cara bermain Sandra berbeda dari mereka.
Kami memiliki tempat bermain rahasia, kami sebut tempat itu markas. Markas kami terletak di atas pohon di belakang rumah Sandra. Markas itu kakek Sandra yang membuatnya, aku juga pernah melihat tempat seperti markas kami difilm tapi mereka menyebut tempat itu rumah pohon. Aku pernah bilang pada Ardi dan Sandra kalau markas kita itu namanya rumah pohon, namun Ardi dan Sandra lebih suka tempat itu diberi nama markas karena lebih keren. Disanalah kami bermain, tertawa, dan menangis. Hingga suatu hari sepulang dari aku bermain aku dapati ayah dan ibu bertengkar hebat. Saat itu aku tak tahu apa yang mereka debatkan. Meja, kusi, dan buku diatas rak sudah tak pada tempatnya. Rahmi pun menangis karena ketakutan digendongan ibu, suara Rahmi hampir habis karena sudah terdengar sangat parau dan mulai hilang. Namun ibu dan ayah mesih tetap berdebat sambil mennunjuk-nunjuk satu sama lain. Aku kini merasa sangat ketakutan, wajah mereka tak seperti biasanya. Mereka berubah menyeramkan seperti singa yang siap untuk menerkam mangsanya. Aku hanya berdiri ketakutan di depan pintu tak terasa air mataku menetes. Entah apa yang mereka bicarakan tapi tiba-tiba ibu memandang keluar sehingga matanya mengarah padaku yang berdiri tepat di depan pintu.
Saat itu aku dengar jelas ayah mengacungkan tangannya sambil berteriak menyuruh ibu keluar rumah ini. Aku semakin diselimuti rasa ketakutan yang hebat sampai-sampai air mataku bercucuran sangat deras. Dengan wajah yang memerah dan berderai air mata ibu melangkah menuju pintu menuruti perintah ayah, lalu dengan kasar ibu menarik tanganku yang gemetar dan dingin karena takut itu keluar rumah. Kami berjalan tanpa tujuan yang jelas kami berjalan masih dengan air mata yang terus saja bercucuran. Aku masih bingung ibu hendak mengajakku dan Rahmi kemana karena sepanjang perjalanan ibu tak bicara sepatah kata pun. Aku melihat orang-orang dipinggir jalan mengamati kami, mungkin mereka merasa aneh pada kami. Aku merasa malu saat itu karena tak urung mata mereka dari kami.
Sudah cukup jauh dari rumah ibu menarik tanganku. Dibawah pohon yang sangat rindang dan teduh ibu tiba-tiba berhenti secara tiba-tiba. Dia memejamkan mata sebentar dan memandangiku. Aku jadi merasa takut dan bingung, tak tahu apa yang akan ibu lakukan. Namun kemudian ibu melepaskan gandengan tangannya padaku dan ibu duduk di bawah pohon rindang itu. Ia menangis semakin menjadi sambil menutupi matanya. Perlahan aku mendekatinya dan memberanikan bertanya pada ibu mengapa ibu menangis. Tapi ibu masih saja menangis, tak menghiraukan pertanyaanku. Sedang ku lihat Rahmi tertidur pulas digendongan ibu, mungkin Rahmi kelelahan karena menangis. Lalu aku coba lagi melontarkan pertanyaan yang sama pada ibu, tapi masih saja ibu tak menghiraukan. Namun tetap saja aku menanyakan pada ibu pertanyaan yang sama hingga berulang-ulang. Mungkin karena terusik ibu langsung menyeka air mataanya dan memelukku sambil mencoba menjawab pertanyaanku. Kata ibu tidak apa-apa tapi saat menjawab suara ibu terdengar bergetar dan aku merasakan air matanya terjatuh di pundakku. Hingga aku menyerah untuk bertanya padanya. Aku hanya terdiam dipelukan ibu. Walaupun saat itu ibu bermuka menyeramkan namun pelukan ibu masih tetap nyaman dan hangat seperti biasanya. Aku merasa sangat nyaman berada dipelukan ibu hingga aku tertidur dipelukan ibu. Cukup lama aku tertidur. Hingga gerakan mendadak ibu membangunkanku dari pelukannya.
“ Kita mau kemana lagi bu.?” Tanya ku.
“ Kita akan jalan-jalan.” Jawab ibu singkat.
Kemudian ibu berjalan sambil menggandengku persis seperti tadi saat kami meninggalkan rumah, namun saat ku pandang wajah ibu ia tak menangis lagi seperti tadi. Aku sedikit bahagia karena ibu tak mengeluarkan air mata lagi, hingga orang-orang tak melihat kami dengan aneh lagi. Setelah berjalan jauh ibu berhenti tepat di pinggir sebuah jembatan yang berarus sungai sedang. Aku tak tahu dimana tempat itu, karena aku tak pernah bermain ke tempat itu. Tempat itu cukup sepi. Hanya beberapa truk besar pengangkut pasir saja yang lewat dan beberaapa sepeda motor yang melaju sangat cepat.
“ Kita dimana?” Tanyaku.
“ Entahlah ibu juga tak tahu.” Jawab singkat ibu.
Aku semakin tak mengerti dan bingung saat itu. Tiba-tiba ibu mendekat padaku dan memelukku lalu menciumi aku dan Rahmi. Aku semakin tak mengerti lagi, karena taak biasanya ibu melakukan ini. Hingga Rahmi terbangun dari tidurnya karena terusik oleh ciuman-ciuman ibu pada pipi dan dahinya.
 “ Apa kau menyayangi ibu?” tanya ibu secara tiba-tiba.
Aku hanya menganggukan kepala untuk menjawab pertanyaan ibu.
“ Kalau kau menyayangi ibu, lakukan hal yang sama seperti yang ibu lakukan!” perintah ibu secara lembut.
“ Apa maksud ibu?” tanyaku bingung. Aku semakin dibuat bertanya-tanya akan tingkah ibu yang tak dapat aku mengerti.
“ Sudahlah lakukan dan ikuti saja apa yang ibu lakukan.” Perintah ibu.
Lalu ibu menuju tepi jembatan yang memiliki pembatas berkarat itu. Tanpa basa-basi ibu panjat pagar berkarat itu dan langsung menerjunkan dirinya ke bawah sungai aku terkejut dan langsung menghampiri dan melihat kebawah jembatan. Aku masih mendengar tangisan Rahmi. Namun tiba-tiba hilang begitu saja. Aku mencari kesetiap sudut-sudut sungai namun percuma, aku tak dapat menemukan ibu dan Rahmi disana. Aku ketakutan di situ, hingga aku teringat akan kata-kata ibu tadi untuk mengikuti apa yang dilakukan ibu. Kemudian aku mendekati pegar jembatan yang berkarat tadi bermaksud melakukan hal yang sama seperti ibu. Aku takut jika aku tak melakukan hal yang sama ibu akan marah padaku, sedang ibu dan Rahmi pasti telah menungguku dibawah sana untuk jalan-jalan. Seperti kata ibu tadi dibawah pohon besar. Namun aku takut melakukan seperti yang ibu lakukan ketika ku lihat ketinggian tempat itu. Hingga aku hanya dapat menangis dan berteriak-teriak memanggil ibu dan Rahmi dari atas jembatan, berharap mereka mendengar dan kembali keatas untuk menjemputku.
Ku rasa sudah terlalu lama aku berteriak memanggil mereka namun tak ada jawaban dari mereka. Aku semakin takut saja bila ibu marah padaku. Suaraku sekarang semakin hilang, aku tak tahu kenapa suaraku tiba-tiba memudar. Hingga aku dihampiri seorang wanita agak tua yang pulang dari sawah dan menanyaiku kenapa aku disitu. Aku menjelaskan bahwa tadi ibu mengajakku dan adikku jalan-jalan tapi ibu hanya mengajak Rahmi dan meninggalkan aku disini. Lalu dia bertanya kearah mana ibuku dan Rahmi pergi meninggalkan aku. Langsung saja aku menunjuk kebawah jembatan itu berharap wanita itu mau mengantarku menemui ibu dan Rahmi adikku. Tapi bukannya ia mengantarku dia malah menggendongku sambil menangis kelakutan dan menju perkampungan terdekat. Aku meronta-ronta memanggil ibu dan Rahmi, karena takut kalau-kalau aku diculik wanita itu.
Sampai diperkampungan dengan terengah-engah wanita itu bicara pada seorang laki-laki yang berwibawa dan bilang kalau ada orang bunuh diri di jembatan, sambil menunjuk arah jembatan tempat kami bertemu. Bapak-bapak itu panik dan memanggil warga ungtuk menuju jembatan itu. Aku masih saja berada di gendongan wanita tadi, masih tak mengerti apa yang terjadi. Lalu wanita tadi bertanya padaku dimana aku tinggal. Tapi aku tak tahu alamat rumahku. Wanita itu lalu bertanya dimana sekolahku dan aku memberi tahu dimana aku sekolah. Lalu dia menyuruh orang untuk pergi ke sekolahku. Aku semakin tak tahu apa sebenarnya ini, padahal aku dan ibu akan berjalan-jalan tapi wanita itu tan mengantarku malah mengajak kerumahnya.
Beberapa saat kemudian datang ayah dan laki-laki suruhan wanita itu menghampiriku. Wajah ayah tak menyeramkan seperti tadi Ayah langsung menggendongku dan memeluk ku erat. Sebenarnya aku masih benci pada ayah atas kejadian tadi. Tapi ayah menangis sambil memeluk tubuhku. Hingga aku mencoba memaafkannya. Kemudian ayah menggendongku menuju jembataan tadi dimana ibu dan Rahmi meninggalkanku sendiri. Aku melihat sudah ada banyak orang disana. Dengan semangat aku bercerita pada ayah bagaimana ibi dan Rahmi pergi menuju bawah jembatan untuk jalan-jalan. Ayah meneteskan air mata dan mengajakku pulang kerumah. Tak beberapa lama sepulangku dari jembatan tadi, banyak orang yang daatang kerumah kami. Aku semakin tak mengerti saja apa yang telah terjadi. Hingga ketika ibu dan Rahmi dibawa pulang namun mereka hanya tidur tak mau bangun dan tubuh mereka dingin. Aku sadar mereka telah meninggal saat aku kemakam dan menyeksikan tubuh ibu dan Rahmi dimasukkan kedalam tanah. Seketika aku menangis dan menjerit histeris memanggil nama mereka.

***
TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar