Namaku
Muhammad Akbar, aku anak terakhir dari dua bersaudara. Diumur yang masih 28
tahun ini aku sangat bersukur atas apa yang aku miliki dan dapatkan selama
hidup. Dulu aku dapat masuk diperguruan tinggi negeri favorit dengan mudah, dan
kini telah lulus denagn menyandang sarjana pendidikan dan dapat menyelesaikan
kuliah dalam waktu tiga tahun. Setelah lulus dari perguruan tinggi aku kini
bekerja sebagai guru di salah satu SMA swasta di kota tempat tinggalku, denagn
gaji yang cukup.
Aku juga bertemu dengan seorang wanita yang baik yang kini menjadi istriku. Dia adalah wanita yang sempurna sebagai istri dan ibu dari anak-anakku. Dia bernama Aisyah Hanif. Dia wanita yang pandai baik akademik maupun agama, sehingga aku berharap anak-anakku mewarisi kepandaian dari ibunya. Dulu kami tidak berpacaran seperti orang-orang lain yang melakukan perkenalan dengan berpacaran. Aku lebih memilih untuk langsung bertanya pada Aisyah (begitu dia dipanggil) maukah dia menjadi ibu dari anak-anakku. Tapi dengan santai ia menjawab agar aku menanyakannya pada ayahnya. Aku sonytak kaget dengan jawaban yang ia berikan padaku. Hingga tanpa ragu aku melamar Aisah dengan membawa ayah dan ibuku kerumah Aisyah untuk meminta izin pada orang tua Aisyah. Setelah orangtua dan Aisyah sendiri menyetujuinya kemudian hari pernikahan kamipun ditentukan. Kisahku dengan Aisyah dalam menuju pernikahan memang sangat singkat. Karena kami menghindari perbuatan yang dapat mencemarkan kami di mata Allah.
Aku juga bertemu dengan seorang wanita yang baik yang kini menjadi istriku. Dia adalah wanita yang sempurna sebagai istri dan ibu dari anak-anakku. Dia bernama Aisyah Hanif. Dia wanita yang pandai baik akademik maupun agama, sehingga aku berharap anak-anakku mewarisi kepandaian dari ibunya. Dulu kami tidak berpacaran seperti orang-orang lain yang melakukan perkenalan dengan berpacaran. Aku lebih memilih untuk langsung bertanya pada Aisyah (begitu dia dipanggil) maukah dia menjadi ibu dari anak-anakku. Tapi dengan santai ia menjawab agar aku menanyakannya pada ayahnya. Aku sonytak kaget dengan jawaban yang ia berikan padaku. Hingga tanpa ragu aku melamar Aisah dengan membawa ayah dan ibuku kerumah Aisyah untuk meminta izin pada orang tua Aisyah. Setelah orangtua dan Aisyah sendiri menyetujuinya kemudian hari pernikahan kamipun ditentukan. Kisahku dengan Aisyah dalam menuju pernikahan memang sangat singkat. Karena kami menghindari perbuatan yang dapat mencemarkan kami di mata Allah.
Setelah
kami menikah aku masih belum dapat menghilangkan kebiasaan masa bujangku. Aku
selalu pulang malam untuk sekedar nongkrong dengan teman-teman. Tapi yang aku
heran, Aisyah tidak protes akan kegiatanku itu. Dia tak pernah membahas
kebiasaanku itu. Hingga aku sendiri yang geram padanya dan menanyakan pada
Aisyah kenapa dia tak marah padaku yang selalu pulang malam. Tapi dia hanya
menjawab dengan senyuman manisnya. Aku dijadikannya bingung. Hingga aku masih
saja melakukan kebiasaan itu, karena istriku tak memprotesnya. Dia hanya
menungguku pulang setiap malam. Tapi dia tak bicara apa-apa, dia hanya
tersenyum dan kemudian membuka sajadah kalau-kalau saya belum shalat isyak. Dia
tak menunjukkan raut muka tak enak padaku, dia malah membuatku bahagia dengan
raut mukanya yang berseri-seri. Begitu dia setiap hari.
Pernah
suatu ketika aku keluar nongkrong dengan teman, karena keasyikan ngobrol aku lupa waktu. Aku tengok jam di ponsel
ternyata sudah menunjukan jam 3 dini hari. Aku langsung teringat pada Aisyah.
Pasti dia masih menungguku diruang tamu. Padahal esok hari dia juga harus
melaksanakan tugasnya sebagai guru. Sontak langsung aku ijin pulang pada
teman-temanku. Sesampai di rumah benar saja Aisyah masih menungguku dengan mata
yang telah memerah. Dengan Al-Quran ditangannya. Mengetahui aku telah pulang
dia langsung meletakkan Al-Quran dan langsung menghampiriku. Ku kira dia akan
menamparku tapi dia malah mencium tanganku dan menanyakan apakah aku baik-baik
saja. Aku menjawabnya dengan cara kupeluk dia dan berterimakasih padanya. Lalu
ia segera mengelar sajadah untukku. Sebenarnya aku merasa tak enak pada
Istriku. Setelah aku shalat, aku berbaring didekat istriku dan meminta maaf
padanya. Dia hanya tersenyum dan menyuruhku istirahat karena kami besok harus
mengajar melaksanakan tugas sebagai seorang guru. Waktupun terasa cepat ku rasa
baru saja aku memejamkan mata Aisyah sudah membangunkanku untuk melaksanakan
shalat subuh. Ku lihat jam di dinding telah menunjukkan pukul lima lebih
sepuluh menit.
Sejak
kejadian itu aku selalu membatasi acara nongkrong dengan teman-teman. Aku juga
mengurangi jam pulangku. Yang biasanya aku pulang jam 12 malam, setelah aku
kurangi sedikit demi sedikit, kini bila sudah jam 9 malam aku sudah pulang. Aku
kasihan pada Aisyah bila harus menungguku pulang hingga larut malam. Lama-lama
aku jadi jarang keluar nongkrong. Aku menghabiskan waktu malam dirumah
berbincang-bincang dengan istriku. Ternyata lebih mengasyikkan ngobrol
dengannya daripada ngobrol dengan teman-teman dan obrolan kami lebih
bermanfaat.
Dalam
obrolan asyik kami aku menanyakan satu hal yang selama ini aku ingin tahu dari
Aisyah mengapa dia tak permnah marah bila aku pulang larut malam. Dengan senyum
manisnya ia menjawab “ aku ingin Mas tau dan sadar dengan sendirinya.” Jawab
singkat Aisyah.
Memang
Aisyah tak pernah suka marah-marah. Bila ia protes terhadap sesuatu ia akan
protes dengan tindakan yang halus hingga menjadikan orang itu sadar dengan
sendirinya. Itulah istriku, yang membuat aku semakin dewasa dan semakin
bertanggung jawab. Istri yang tak banyak bicara, hingga aku sangat menghargai setiap
kata yang dia ucapkan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar