Translate

Kamis, 09 Agustus 2012

BERAWAL DARI TIGAPULUH RIBU RUPIAH

Aku Ahmad Hadi Al-amin, aku anak pertama dari tiga bersaudara. Aku kini telah memasuki usia kepala tiga dengan pencapaian puncak kesuksesan hidup yang amat sangat memuaskan. Mulai dari istri dan anak yang soleh juga usaha yang kini telah mengalami kejayaannya. Usaha yang mengangkat strata sosial kami. Sebuah usaha yang ku tlateni walau aku terpuruk dalam menjalankan usaha ini. Persaingan dalam bidang wirausaha memang begitu ketat sehingga inofasi merupakan hal yang sangat dibutuhkan para wirausaha. Dan akupun mampu melewati masa-masa sulit bersaing dengan mereka para wirausaha pencetak uang. Itu juga karena Sang Maha Kuasa telah memberikan hasil dari jerih payahku selama ini.

Kehidupanku berawal dari sebuah perkampungan kecil yang sangat padat di sekitar Universitas negeri di kota Malang, Jawa Timur. Disana aku dibesarkan dengan kedisiplinan dan kerja keras karena memang keluargaku bukan sebuah keluarga yang serba kecukupan, namun sebuah keluarga yang bisa dibilang serba kekurangan. Serta didukung dengan tingakat pendidikan yang rendah. Karena walau kami hidup di sekitar kampus namun semangat belajar warga di kampungku sangatlah rendah. Genarasi-generasi muda  tak memiliki hasrat untuk mengenyam bangku kuliah, padahal mereka hidup di lingkungan yang dibilang sangat amat kental dengan pendidikan. Mereka lebih suka mencari uang dengan cara membuat kesenian gerabah yang memang masa itu menjadi mata pencaharian warga kampungku.
Saat itu aku dihadapkan dengan sebuah masalah yang bagiku saat itu sangat berat. Dimana ayahku menginginkan aku berhenti bersekolah karna masalah biaya yang tak sanggup ayahku penuhi. Beberapa hari aku mengurung diri dikamar berpikir bagaimana cara agar  dapat tetap melanjutkan sekolahku. Hingga tercetus sebuah ide brkerja agar menghasilkan uang untuk bayar uang sekolah. Lalu aku putuskan untuk membantu membuat kesenian gerabah ayahku. Saat itu aku menempatkan diri bukan sebagai anak dari ayah tapi aku adalah pegawainya. Pekerjaanku kuawali dengan mencari tanah bahan baku gerabah, membentuk, menjemur, membakar, hingga mengecat gerabah-gerabah itu. Sampai satu minggu aku bekerja dan akhirnya aku mendapatkan gaji pertamaku bekerja. Aku masih sangat ingat gaji pertamaku waktu itu senilai tiga puluh ribu rupiah. Sedang aku harus membayar uang masuk SMP sebesar lima ratus ribu rupiah. Karena tekat yang kuat dan karena keadaan yang sangat mendesak  aku memutuskan untuk sementara akan mengerjakan semua sendiri sehingga uang yang aku dapat bisa lebih banyak karena upah yang aku dapatkan dari ayah  terlalu sedikit. Sedang minggu yang akan datang merupakan hari terakhir pembayaran. Tak kusangka setelah lima hari aku telah mendapatkan uang sebesar delapan ratus ribu rupiah, dan hasil itu melebihi targetku. Sehingga uang tagihan sekolah dapat ku bayarkan dan sisanya untuk jajan.
Waktu berjalan dengan sangat cepat, tapi pekerjaan itu masih aku geluti. Karena aku harus membayar uang SPP setiap bulannya, dan kedua adikku yang juga mengandalkan uang keringatku untuk bersekolah. Hingga suatu ketika aku telah berada di bangku kelas 3 SMA. Kebingungan yang besar menimpaku, saat aku dihadapkan pada dua pilihan melanjutkan mengenyam pendidikan atau bekerja. Karena bila aku memutuskan untuk melanjutkan sampai bangku perguruan tunggi pasti biaya yang dibutuhkan juga melebihi biaya saat di SMP dan SMA. Tapi kebingungan itu tak berlangsung lama karena dengan keyakinan dan tekat yang kuat aku memutuskan untuk mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Walau tak dapat masuk perguruan tinggi negeri tapi semangat untuk menciptakan perubahan begitu tinggi. Dan dengan keringat membuat gerabah itulah aku membiayai kuliah hingga mendapat gelar sarjana ekonomi.
Gelar sarjana yang ku sandang tak cukup untuk menciptakan perubahan di kampungku. Hingga suatu ketika dengan modal yang kupunya dari tabunganku selama ini aku mendirikan sebuah toko untuk menampung kerajinan para warga. Tapi aku masih kalah dengan para makelar  dalam meyakinkan para pengrajin mereka sangatlah pandai berkata-kata. Aku juga belum berani membeli kerajinan gerabah warga dengan harga sefantastis seperti yang para makelar itu tawarkan. Sedang tokoku tidak banyak pengunjungnya, sehingga setelah berjalan satu bulan dan tak ada perkembangan dengan terpaksa aku menutup toko itu, dan bermaksud  mencari ide untuk menarik para konsumen. Sempat terbesit strategi Hutan Rimba di benakku yaitu suatu strategi tentang bagaimana menciptakan hubungan antar patner bisnis kita di setiap daerah, kita menciptakan kesempatan dimana-mana, kita menggerakkan patner kita disetiap wilayah, dengan demikian konsumen kita akan terbentuk dimana-mana. Strategi yang tekah digunakan para pengusaha-pengusaha besar, tapi aku bingung siapakah yang mau menjadi patner bisnisku. Sedang usaha ku belum terkenal, bayangan-bayangan kegagalan juga menghantuiku.
Selang beberapa hari ruko disebelah tokoku juga disewakan pada seorang pengusaha gerabah, yang sudah sangat terkenal. Saat itu sungguh aku seperti orang gila memikirkan bagaimana cara mengembangkan bisnis, yang menjadi angan-angan serta impianku selama ini. Sainganku sungguh sangat berat, sehingga aku harus memutar otak lebih berat lagi. Dan akupun lambat laun akan dikubur waktu jika tak menciptakan hal yang berbeda dari pesaingku. Namun aku juga tak boleh melakukan hal-hal yang berbau kecurangan agar tak mencemarkan nama baikku serta keluargaku, sedang pikiranku saat itu sangatlah tak mendukung. Hingga tercetus ide untuk mengubah toko gerabah menjadi tempat tempat belajar membuat kerajinan gerabah. Dengan sedikit promosi di sekolah-sekolah dan menyebar selebaran lambat laun tempatku ini dikenal orang juga. Ternyata para masyarakat memiliki tingkat keinginan tinggi untuk belajar daripada hanya menikmati barang yang telah jadi. Pelanggan setiaku mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Dulu aku masih dapat menangani sendiri namun karna semakin terkenal kini aku tak mampu menanganinya sendiri. Aku sekarang telah mempekerjakan tiga ribu pegawai, dalam 400 cabang perusahaan didalam dan diluar pulau jawa. Tak tanggung-tanggung selama satu bulan minimal aku mendapatkan pemasukan sebesar tigapuluh milyar rupiah.
Perombakan yang cukup besar telah aku lakukan. Memberantas kemiskinan di kampungku dan memciptakan peluang kerja serta menjunjung strata sosial keluargaku. Tak ku sangka aku dapat mencapai keberhasilan yang amat sangat tinggi ini. Bila diingat bagaimana kehidupanku saat itu, bagaimana aku mencari selembar uang untuk biaya bersekolah hingga mendapat gelar sarjana. Tuhan memang tak pernah menutup pintu rizki bagi hambanya yang mau berusaha dan tawakal padanya. Serta melakukan persaingan secara sehat dan tidak merugikan pihak lawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar