Aku Ahmad Hadi Al-amin, aku anak pertama dari tiga bersaudara. Aku
kini telah memasuki usia kepala tiga dengan pencapaian puncak kesuksesan hidup
yang amat sangat memuaskan. Mulai dari istri dan anak yang soleh juga usaha
yang kini telah mengalami kejayaannya. Usaha yang mengangkat strata sosial
kami. Sebuah usaha yang ku tlateni walau aku terpuruk dalam menjalankan usaha
ini. Persaingan dalam bidang wirausaha memang begitu ketat sehingga inofasi
merupakan hal yang sangat dibutuhkan para wirausaha. Dan akupun mampu melewati
masa-masa sulit bersaing dengan mereka para wirausaha pencetak uang. Itu juga
karena Sang Maha Kuasa telah memberikan hasil dari jerih payahku selama ini.
Kehidupanku berawal dari sebuah perkampungan kecil yang sangat padat
di sekitar Universitas negeri di kota Malang, Jawa Timur. Disana aku dibesarkan
dengan kedisiplinan dan kerja keras karena memang keluargaku bukan sebuah
keluarga yang serba kecukupan, namun sebuah keluarga yang bisa dibilang serba
kekurangan. Serta didukung dengan tingakat pendidikan yang rendah. Karena walau
kami hidup di sekitar kampus namun semangat belajar warga di kampungku
sangatlah rendah. Genarasi-generasi muda
tak memiliki hasrat untuk mengenyam bangku kuliah, padahal mereka hidup
di lingkungan yang dibilang sangat amat kental dengan pendidikan. Mereka lebih
suka mencari uang dengan cara membuat kesenian gerabah yang memang masa itu
menjadi mata pencaharian warga kampungku.
Saat itu aku dihadapkan dengan sebuah masalah yang bagiku saat itu
sangat berat. Dimana ayahku menginginkan aku berhenti bersekolah karna masalah
biaya yang tak sanggup ayahku penuhi. Beberapa hari aku mengurung diri dikamar
berpikir bagaimana cara agar dapat tetap
melanjutkan sekolahku. Hingga tercetus sebuah ide brkerja agar menghasilkan
uang untuk bayar uang sekolah. Lalu aku putuskan untuk membantu membuat
kesenian gerabah ayahku. Saat itu aku menempatkan diri bukan sebagai anak dari
ayah tapi aku adalah pegawainya. Pekerjaanku kuawali dengan mencari tanah bahan
baku gerabah, membentuk, menjemur, membakar, hingga mengecat gerabah-gerabah
itu. Sampai satu minggu aku bekerja dan akhirnya aku mendapatkan gaji pertamaku
bekerja. Aku masih sangat ingat gaji pertamaku waktu itu senilai tiga puluh
ribu rupiah. Sedang aku harus membayar uang masuk SMP sebesar lima ratus ribu
rupiah. Karena tekat yang kuat dan karena keadaan yang sangat mendesak aku memutuskan untuk sementara akan
mengerjakan semua sendiri sehingga uang yang aku dapat bisa lebih banyak karena
upah yang aku dapatkan dari ayah terlalu
sedikit. Sedang minggu yang akan datang merupakan hari terakhir pembayaran. Tak
kusangka setelah lima hari aku telah mendapatkan uang sebesar delapan ratus
ribu rupiah, dan hasil itu melebihi targetku. Sehingga uang tagihan sekolah
dapat ku bayarkan dan sisanya untuk jajan.
Waktu berjalan dengan sangat cepat, tapi pekerjaan itu masih aku
geluti. Karena aku harus membayar uang SPP setiap bulannya, dan kedua adikku
yang juga mengandalkan uang keringatku untuk bersekolah. Hingga suatu ketika
aku telah berada di bangku kelas 3 SMA. Kebingungan yang besar menimpaku, saat
aku dihadapkan pada dua pilihan melanjutkan mengenyam pendidikan atau bekerja.
Karena bila aku memutuskan untuk melanjutkan sampai bangku perguruan tunggi
pasti biaya yang dibutuhkan juga melebihi biaya saat di SMP dan SMA. Tapi
kebingungan itu tak berlangsung lama karena dengan keyakinan dan tekat yang
kuat aku memutuskan untuk mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Walau
tak dapat masuk perguruan tinggi negeri tapi semangat untuk menciptakan
perubahan begitu tinggi. Dan dengan keringat membuat gerabah itulah aku
membiayai kuliah hingga mendapat gelar sarjana ekonomi.
Gelar sarjana yang ku sandang tak cukup untuk menciptakan perubahan
di kampungku. Hingga suatu ketika dengan modal yang kupunya dari tabunganku
selama ini aku mendirikan sebuah toko untuk menampung kerajinan para warga.
Tapi aku masih kalah dengan para makelar
dalam meyakinkan para pengrajin mereka sangatlah pandai berkata-kata. Aku
juga belum berani membeli kerajinan gerabah warga dengan harga sefantastis
seperti yang para makelar itu tawarkan. Sedang tokoku tidak banyak
pengunjungnya, sehingga setelah berjalan satu bulan dan tak ada perkembangan
dengan terpaksa aku menutup toko itu, dan bermaksud mencari ide untuk menarik para konsumen.
Sempat terbesit strategi Hutan Rimba di benakku yaitu suatu strategi tentang
bagaimana menciptakan hubungan antar patner bisnis kita di setiap daerah, kita
menciptakan kesempatan dimana-mana, kita menggerakkan patner kita disetiap
wilayah, dengan demikian konsumen kita akan terbentuk dimana-mana. Strategi
yang tekah digunakan para pengusaha-pengusaha besar, tapi aku bingung siapakah
yang mau menjadi patner bisnisku. Sedang usaha ku belum terkenal,
bayangan-bayangan kegagalan juga menghantuiku.
Selang beberapa hari ruko disebelah tokoku juga disewakan pada
seorang pengusaha gerabah, yang sudah sangat terkenal. Saat itu sungguh aku
seperti orang gila memikirkan bagaimana cara mengembangkan bisnis, yang menjadi
angan-angan serta impianku selama ini. Sainganku sungguh sangat berat, sehingga
aku harus memutar otak lebih berat lagi. Dan akupun lambat laun akan dikubur
waktu jika tak menciptakan hal yang berbeda dari pesaingku. Namun aku juga tak
boleh melakukan hal-hal yang berbau kecurangan agar tak mencemarkan nama baikku
serta keluargaku, sedang pikiranku saat itu sangatlah tak mendukung. Hingga
tercetus ide untuk mengubah toko gerabah menjadi tempat tempat belajar membuat
kerajinan gerabah. Dengan sedikit promosi di sekolah-sekolah dan menyebar
selebaran lambat laun tempatku ini dikenal orang juga. Ternyata para masyarakat
memiliki tingkat keinginan tinggi untuk belajar daripada hanya menikmati barang
yang telah jadi. Pelanggan setiaku mulai dari anak-anak sampai orang dewasa.
Dulu aku masih dapat menangani sendiri namun karna semakin terkenal kini aku
tak mampu menanganinya sendiri. Aku sekarang telah mempekerjakan tiga ribu
pegawai, dalam 400 cabang perusahaan didalam dan diluar pulau jawa. Tak
tanggung-tanggung selama satu bulan minimal aku mendapatkan pemasukan sebesar
tigapuluh milyar rupiah.
Perombakan yang cukup besar telah
aku lakukan. Memberantas kemiskinan di kampungku dan memciptakan peluang kerja
serta menjunjung strata sosial keluargaku. Tak ku sangka aku dapat mencapai
keberhasilan yang amat sangat tinggi ini. Bila diingat bagaimana kehidupanku
saat itu, bagaimana aku mencari selembar uang untuk biaya bersekolah hingga
mendapat gelar sarjana. Tuhan memang tak pernah menutup pintu rizki bagi
hambanya yang mau berusaha dan tawakal padanya. Serta melakukan persaingan
secara sehat dan tidak merugikan pihak lawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar