Nama
sosiologi berasal dari gabungan dua kata yaitu socius dan logos. Dalam bahasa
Romawi ( Latin ) socius berarti teman atau sesama dan logos yang artinya ilmu.
Jadi, secara harfiah sosiologi berarti membicarakan atau memperbincangkan
pergaulan hidup manusia. Pengertian tersebut akhirnya diperluas menjadi ilmu
pengetahuan yang membahas dan mempelajari kehidupan manusia dalam masyarakat. (Indarto
Muin, 2006:7)
Coser
(1977) mengisahkan bahwa Comte semula memberikan nama social physicsbagi ilmu yang akan diciptakannya itu, lalu
mengurungkan niatnya itu karena istilah tersebut telah digunakan tokoh lain,
Saint Simon. (Kamanto Sunarto, 2000:3)
Penerapan
metode ilmiah pada kehidupan sosial, yang dikenal sebagai positivisme (positivism), yang pertamakali diusulkan oleh Auguste
Comte (1798-1857). Dengan Revolusi Perancis
yang masih segar dalam ingatan , Comte meninggalkan Perancis dan pindah ke
Paris. Perubahan yang dialaminya tatkala pindah digabungkan dengan perubahan
yang dialami di Prancis dalam revolusi, mendorong perhatian Comte pada apa yang
mempersatukan masyarakat. Hingga timbul pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari
Comte. Saat Comte mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, ia
menyimpulkan bahwa cara yang benar untuk menjawabnya adalah dengan menerapkan
metode ilmiah pada kehidupan sosial.
Kemudian Comte menamakan ilmu baru ini Sosiologi
(Sociology). Comte menekankan bahwa ilmu baru ini tidak hanya akan
mengungkapkan prinsip-prinsip sosial, tetapi juga akan menerapkannya pada
reformasi sosial. Bagi Comte, menerapkan metode ilmiah pada kehidupan sosial
berarti melakukan apa yang disebut “filsafat di belakang meja” menarik
kesimpulan dari pengamatan informal terhadap kehidupan sosial. Karena ia yang
mengembangkan dan menciptakan sosiologi maka Comte sering dianggap sebagai
pendiri sosiologi (James M. Henslin, 2006:6)
Dalam
buku lain dikatakan bahwa istilah sosiologi pertama kali dikemukakan oleh ahli
filsafat, moralis, dan sekaligus sosiolog Prancis, Aguste Comte, melalui Cours de Philosophie Positive. (Indarto
Muin, 2006: 7)
Sosiologi
jelas merupakan ilmu sosial yang objeknya adalah masyarakat. Sosiologi adalah
ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri karena telah memenuhi segenap unsur-unsur
ilmu pengetahuan, yang ciri-ciri utamanya sebagai berikut :
a. Sosiologi
bersifat empiris, yang berarti bahwa ilmu pengetahuan tersebut didasarkan pada
observasi terhadap kenyataan dan akal sehat serta hasilnya tidak bersifat
spekulatif.
b. Sosiologi
bersifat teoritis, yaitu ilmu pengetahuan tersebut selalu berusaha untuk
menyusun abstraksi dari hasil-hasil observasi. Abstraksi tersebut merupakan
kerangka unsur-unsur yang tersusun secara logis dan bertujuan untuk menjelaskan
hubungan sebab akibat, sehingga menjadi teori
c. Sosiologi
bersifat kumulatif yang berarti bahwa teori-teori sosiologi dibentuk atas dasar
teori-teori yang sudah ada dalam arti memperbaiki, memperluas serta memperhalus
teori-teori yang lama.
d. Sosiologi
bersifat nonetis, yakni yang dipersoalkan bukanlah buruk-baiknya fakta
tertentu, tetapi tujuannya adalah untuk menjelaskan fakta tersebut secara
analitis. (Harry M. Johnson dalam Soerjono Soekanto, 1982:13)
Definisi
sosiologi
a. Pitirim
Sorokin mengatakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari :
1. Hubungan
dan pengaruh timbal-balik antara aneka macam gejala-gejala sosial (misalnya
antara gejala ekonomi dengan agama; keluarga dengan moral; hukum dengan
ekonomi; gerakan masyarakat dengan politik dan sebagainya.
2. Hubungan
dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dan gejala-gejala non sosial(
misalnya gejala geografis, biologis, dsb)
3. Ciri-ciri
umum sbgai jenis-jenis gejala sosial.
b. Roucek
dan Warren mengungkapkan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan
antara mausia dalam kelompok-kelompok .
c. William
F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff berpendapat bahwa sosiologi adalah penelitian
secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya yaitu organisasi sosial.
d. J.A.A.
Van Doorn dan C.J. Lammers berpendapat bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan
tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat
stabil.
e.
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi
menyatakan bahwa sosiologi atau ilmu masyarakat ialah ilmu yang mempelajari
struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.
Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok
yaitu kaidah-kaidah sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok serta
lapisan-lapisan sosial. Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara
pelbagai segi kehidupan bersama, umpamanya pengaruh timbal balik antara segi
kehidupan ekonomi dengan segi kehidupan politik, antara segi kehidupan hukum,
segi kehidupan agama, antara segi kehidupan agama dan segi kehidupan ekonomi
dan lain sebagainya. Salah satu proses sosial yg bersifat tersendiri ialah
dalam hal terjadinya perubahan-perubahan di dalam struktur sosial. (Soerjono
Soekanto, 1990: 19-20)
Fakta Sosial
Menurut Durkheim fakta sosial
merupakan cara bertindak, berpikir, dan berperasaan, yang berada di luar
individu, dan memiliki kekuatan yang memaksa yang mengendalikannya.
Here, than, is a category of facts
with very distinctive characteristics: it consists of ways of acting, thinking,
and feeling, eksternal to the individual, and endowed with a power of ceorcion,
by reason of which they control him.... these ways of thinking and acting....
constitute the populer domain of sociology (Durkheim dalam Kamanto Sunarto,
2000:11)
Unsur-unsur yang dikemukakan dalam
definisi Durkheim : ada cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang
bersumber pada suatu kekuatan di luar individu, bersifat memaksa dan
mengendalikan individu, dan berada diluar kehendah pribadi individu. (Kamanto
Sunarto, 2000:11)
Devinisi
sosiologi menurut Emile Durkhim
Sosiologi adalah ilmu yang
mempelajari fakta-fakta sosial, yaitu fakta yang berisikan cara bertindak,
berpikir, dan berperasaan yang ada di luar individu. Fakta-fakta tersebut
mempunyai kekuatan untuk mengendalikan individu. (Emile Durkhim dalam Kamanto
Sunarto, 2004:13)
Devinisi
sosiologi menurut Mark Weber
Dalam
uraian ini Weber menyebutkan pula bahwa sosiologi ialah ilmu yang berupa
memahami tindakan sosial. Ini nampak dari definisi berikut ini : “Sociology is
a science which attempts the interpretive understanding of social action in
order thereby to arrive at a causal explanation of it’s course effects. (Weber
dalam Kamanto Sunarto, 2000:7)
Sosiologi Adalah
Ilmu Berparadikma Ganda
Status Paradigma Sosiologi
Dalam
paparan awalnya ini penulis buku menggambarkan dan menjelaskan tentang
asal-usul lahirnya sebuah ilmu sosiologi. Dimana penulis menerangkan sejarah
lahir dan terbentuknya cabang ilmu ini mulai pemisahan diri dari filsafat
positif hingga memiliki nilai empiris bahkan terbentuknya paradigma sosiologi.
Thomas Kuhn sebagai penggagas konsep tentang istilah pertamakali paradigma
menempati posisi sentral ditengah perkembangan sosiologi hingga menempati kurun
dekade yang cukup lama.
Gagasan
Kuhn mengenai paradigma inilah yang mendorong generasi setelahnya yaitu Robert
Friederich, Lodahl dan Cordon, Philips, Efrat ikut mempopulerkan istilah
paradigma yang digagas oleh Kuhn. Kuhn melihat bahwa ilmu pengetahuan pada
waktu tertentu didominasi oleh satu paradigma tertentu. Yakni suatu pandangan
yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter)
dari suatu cabang ilmu.
Lantas,
istilah Kuhn ini menjadi suatu yang sangat tidak memiliki kejelasan hingga
timbul istilah paradigma dipergunakan tak kurang dari dua puluh satu konsep
paradigma yang kemudian direduksir oleh Masterman menjadi 3 bagian besar yaitu
:
1.
Paradigma Metafisik
2.
Paradigma Sosiologi
3.
Paradigma Konstrak
Sehingga
oleh Ritzer dapat ditarik kesimpulan bahwa sosiologi itu terdiri atas kelipatan
beberapa paradigma. Dimana diantaranya terdapat pergulatan pemikiran yang
terjelma dalam eksemplar, teori-teori, metode, serta perangkat yang digunakan
masing-masing komunitas ilmuwan yang termasuk kedalam paradigma tertentu. (George
Ritzer, 1985: 1-9)
Paradigma Fakta Sosial
Fakta
sosial inilah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi. Fakta social
dinyatakan oleh Emile Durkheim sebagaibarang sesuatu (Thing)
yang berbeda dengan ide. Barang sesuatu menjadi objek penyelidikan dari seluruh
ilmu pengetahuan. Ia tidak dapat dipahami melalui kegiatan mental murni
(spekulatif). Tetapi untuk memahaminya diperlukan penyusunan data riil diluar
pemikiran manusia. Fakta sosial ini menurut Durkheim terdiri atas dua macam :
1.
Dalam bentuk material : Yaitu barang
sesuatu yang dapat disimak, ditangkap, dan diobservasi. Fakta sosial inilah
yang merupakan bagian dari dunia nyata contohnya arsitektur dan norma hukum.
2.
Dalam bentuk non-material : Yaitu
sesuatu yang ditangkap nyata ( eksternal ). Fakta ini bersifat inter subjective
yang hanya muncul dari dalam kesadaran manusia, sebagai contao egoisme,
altruisme, dan opini.
Pokok
persoalan yang harus menjadi pusat perhatian penyelidikan sosiologi menurut
paradigma ini adalah fakta-fakta sosial. Secara garis besar fakta sosial
terdiri atas dua tipe, masing-masing adalah struktur sosial dan pranata sosial.
Secara lebih terperinci fakta sosial itu terdiri atas : kelompok, kesatuan
masyarakat tertentu, system sosial, peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan
dan sebagainya. Menurut Peter Blau ada dua tipe dasar dari fakta sosial :
Nilai-nilai
umum ( common values )
Norma yang terwujud dalam kebudayaan
atau dalam subkultur.
Ada empat varian teori yang
tergabung ke dalam paradigma fakta sosial ini. Masing-masing adalah :
1. Teori
Fungsionalisme-Struktural, yaitu teori yang menekankan kepada keteraturan (order)
dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Konsep-konsep
utamanya adalah : fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifestasi, dan
keseimbangan.
2. Teori Konflik, yaitu teori
yang menentang teori sebelumnya (fungsionalisme-struktural) dimana masyarakat
senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang
terus menerus diantar unsure-unsurnya.
3. Teori Sistem, dan
4. Teori Sosiologi Makro
Dalam melakukan pendekatan terhadap
pengamatan fakta sosial ini dapat dilakukan dengan berbagai metode yang banyak
untuk ditempuh, baik interviu maupun kuisioner yang terbagi lagi menjadi
berbagai cabang dan metode-metode yang semakin berkembang. Kedua metode itulah
yang hingga kini masih tetap dipertahankan oleh penganut paradigma fakta sosial
sekalipun masih adanya terdapat kelemahan didalam kedua metode tersebut.
(George Ritzer, 1985: 13-33)
Paradigma Definisi Sosial
Paradigma
pada definisi ini mengacu pada apa yang ditegskan oleh Weber sebagai tindakan
sosial antar hubungan social. Inti tesisnya adalah “ tindakan yang
penuh arti “ dari individu. Yang dimaksudkannya adalah sepanjang
tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan
kepada tindakan orang lain. Ada tiga teori yang termasuk kedalam paradigma
definisi sosial ini. Masing-masing : Teori Aksi (action theory),
Interaksionisme Simbolik (Simbolik Interactionism), dan Fenomenologi (Phenomenology).
Ketiga
teori diatas mempunyai kesamaan ide dasarnya bahwa menurut pandangannya :
manusia adalah merupakan aktor yang kreatif dari realitas sosialnya. Selain itu
dalam ketiga pembahasan ini pula mempunyai cukup banyak kebebasan untuk bertindak
diluar batas kontrol dari fakta sosial itu. Sesuatu yang terjadi didalam
pemikiran manusia antara setiap stimulus dan respon yang dipancarkan, menurut
ketiga teori ini adalah merupakan hasil tindakan kreatif manusia. Dan hal
inilah yang menjadi sasaran perhatian paradigma definisi sosial. Sehingga
secara umum dapat dikatakan bahwa penganut ketiga teori yang termasuk kedalam
paradigma definisi sosial ini membolehkan sosiolog untuk memandang manusia
sebagai pencipta yang relatif bebas didalam dunia sosialnya.
Disini
pula terletak perbedaan yang sebenarnya antara paradigma definisi sosial ini
dengan paradigma fakta sosial. Paradigma fakta sosial memandang bahwa perilaku
manusia dikontrol oleh berbagai norma, nilai-nilai serta sekian
alatpengendalian sosial lainnya. Sedangkan perbedaannya dengan paradigma
perilaku sosial adalah bahwa yang terakhir ini melihat tingkahlaku mansuia
sebagai senantiasa dikendalikan oleh kemungkinan penggunaan kekuatan (re-enforcement).
(George Ritzer, 1985: 37-63)
Paradigma Perilaku Sosial
Seperti
yang dipaparkan pembahasan sebelumnya, bahwa paradigma ini memiliki perbedaan
yang cukup prinsipil dengan paradigma fakta sosial yang cenderung perilaku
manusia dikontrol oleh norma. Secara singkat pokok persoalan sosiologi menurut paradigma
ini adalah tingkahlaku individu yang brelangsung dalam hubungannya dengan
faktor lingkungan yang menghasilkan akibat-akibat atau perubahan dalam faktor
lingkungan menimbulkan yang berpengaruh terhadap perubahan tingkahlaku. Jadi
terdapat hubungan fungsional antara tingkahlaku dengan perubahan yang terjadi
dalam lingkungan aktor.
Penganut
paradigma ini mengaku memusatkan perhatian kepada proses interaksi. Bagi
paradigma ini individu kurang sekali memiliki kebebasan. Tanggapan yang
diberikannya ditentukan oleh sifat dasar stimulus yang dating dari luar
dirinya. Jadi tingkahlaku manusia lebih bersifat mekanik dibandingkan dengan
menurut pandangan paradigma definisi sosial.
Ada
dua teori yang termasuk kedalam paradigma perilaku sosial.
1.
Behavioral Sociology Theory,
teori ini memusatkan perhatiannya pada hubungan antara akibat dari tingkahlaku
yang terjadi di dalam lingkungan aktor dengan tingkahlaku aktor, khususnya yang
dialami sekarang oleh si aktor.
2.
Exchange Theory,
teori ini dibangun dengan maksud sebagai rekasi terhadap paradigma fakta
sosial, terutama menyerang ide Durkheim secara langsung dari tiga jurusan :
Ø Pandangannya
tentang emergence
Ø Pandangannya
tentang psikologi
Ø Metode
penjelasan dari Durkheim
Paradigma
perilaku sosial ini dalam penerapan metodenya dapat pula menggunakan dengan dua
metode sebelumnya yaitu kuisioner, interview, dan observasi. Namun demikian,
paradigma ini lebih banyak menggunakan metode eksperimen dalam penelitiannya.
(George Ritzer, 1985: 69-81)
Perbedaan Antar Paradigma (Suatu
Penilaian)
Melalui
penjelasan-penjelasan singkat diketiga bab diatas, maka tugas bab ini adalah
mencari perbedaan-perbedaan yang terjadi diketiga paradigma diatas. Satu hal
yang penting untuk diangkat adalah sisi point dari bab yang cukup panjang ini adalah
dengan membaginya menjadi beberapa pointer-pointer penting, diantaranya adalah
sebagai berikut :
1.
Behaviorisme selain disukai banyak
sosiolog juga merupakan perspektif utama sosiologi kontemporer. Sebagian besar
analisa sosiologi mengabaikan arti penting behaviorisme.
2.
Konsepsi umum yang memisahkan antara
teori fungsionalisme struktural dan teori konflik adalah menyesatkan. Kedua
teori itu lebih banyak unsur persamaannya ketimbang perbedaannya, karena
keduanya tercakup dalam satu paradigma. Perbedaan fundamental dalam sosiologi
terdapat diantara ketiga paradigma yang telah dibicarakan.
3.
Implikasi lain ialah adanya hubungan
antara teori dan metode yang selalu dikira dipraktekkan secara terpisah satu
sama lain. Umumnya terdapat keselarasan antara teori dan metode.
4.
Ada irrasionalitas dalam sosiologi.
Kebanyakan sosiolog yang terlibat dalam pekerjaan teoritis dan metodologis
tidak memahami kaitan erat antara keduanya. Teoritisi yang mengira bahwa mereka
beroposisi sama sekali antara yang satu dengan yang lain (antara teori konflik
dan fungsionalisme struktural), nyatanya berkaitan satu sama lain. Terlihat
bahwa peneliti sering memakai metode yang tak cocok untuk mencapai yujuan
penelitian mereka.
5.
Terakhir dan terpenting, pertentangan
antar paradigma sosiologi sangat bersifat politis. Tiap paradigma bersaing
disetiap bidang sosiologi. Kebanyakan upaya dicurahkan semata-mata untuk
menyerang lawan dari paradigma lain dengan berondongan kata-kata yang
berlebih-lebihan. Seharusnya kita mencurahkan waktu sesedikit mungkin untuk
menyerang lawan dan sebanyak-banyaknya untuk memahami pendapat mereka. Kita
sudah semestinya mulai memahami bagaimana caranya memanfaatkan pemikiran
paradigma lain guna mengembangkan perspektif yang lebih menyatu. (George
Ritzer, 1985: 85-121)
Menuju Paradigma Sosiologi Yang
Terpadu
Paradigma
Sosiologi yang terpadu itu harus menjelaskan :
- kesatuan
makro-obyektif seperti birokrasi,
- struktur
makro-subyektif seperti kultur,
- fenomena
mikro-obyektif seperti pola-pola imteraksi sosial, dan
- fakta-fakta
mikro-subyektif seperti proses pembentukan realitas.
Paradigma
fakta sosial memusatkan perhatian terutama kepada realitas sosial pada
tingkatan makro-obyektif dan makro-subyektif. Paradigma definisi sosial memusatkan
perhatian kepada realitas sosial pada tingkatan mikro-subyektif dan sebagai
mikro-obyektif yang tergantung kepada proses-proses mental (tindakan).
Paradigma perilaku sosial menjelaskan sebagian realitas sosial pada tingkatan
mikro-obyektif yang tak tercakup kepada proses mental atau proses berfikir,
yakni yang menyangkut tingkahlaku yang semata-mata dihasilkan stimuli yang
dating dari luar diri actor, yang disini disebut sebagai ‘behavior’ itu.
(George Ritzer, 1985: 125-147)
Dikotomi sosiologi
Positifistik :
Positivistik merupakan aliran filsafat yaitu
positivisme berasal dari kata “positif”, ata positif disini dapat diartikan
dengan factual yaitu sesuatu yang berdasarkan fakta. Positivisme mengutamakan
pengalaman, hanya saja berbeda dengan Empirisme Inggris yang menerima
pengalaman batiniah/subjektif sebagai sumber pengetahuan, positivisme tidak
menerima sumber pengetahuan melalui pengalaman batiniah tersebut. Ia hanya
mengandalkan fakta-fakta belaka. Paham positivisme dalam usaha memecahkan suatu
masalah di masyarakat bertitik tolak dari konsep, teori, dan hukum yang sudah
mapan yang mungkin tidak relevan untuk situasi sosial yang khas dari masyarakat
yang diteliti dan kurang mementingkan kepentingan praktis.
Pada
kamus besar bahasa Indonesia positivistik berarti pasti;
tentu; tegas.
Interpretatif
Lahirnya teori interpretatif, menurut Gibbons,
banyak memunculkan salah pengertian dan salah tanggap dari pihak pengritik
maupun membelanya. Salah satu dari sekian salah paham itu adalah dikotomi antara
penjelasan (explanation) dan pemahaman (understanding). Menurut pembacaan ini
teori interpretatif bertujuan untuk memahami, sementara metode ilmu alam
bertujuan untuk menjelaskan. Sebenarnya para teorisi interpretatif menolak
dikotomi ini. Usaha untuk memahami arti intersubyektif yang tersimpan dalam
kehidupan sosial merupakan usaha untuk menjelaskan mengapa orang bertindak
dengan sebuah cara dan tidak dengan cara yang lain... salah pengertian kedua
terhadap teori interpretatif menegaskan bahwa pemahaman (explanation)
meniscayakan semua penelitian sosial dapat direduksi menjadi tipe-tipe analisis
bahasa dengan mengorbankan tindakan sosialnya
Sedang dalam kamus bahasa Indonesia interpretatif adalah bersifat adanya kesan, pendapat, dan pandangan; berhubungan dengan adanya tafsiran
Sedang dalam kamus bahasa Indonesia interpretatif adalah bersifat adanya kesan, pendapat, dan pandangan; berhubungan dengan adanya tafsiran
Naturalistik
Para sosiolog juga telah mengkombinasikan teknik-teknik
survei dengan pendekatan naturalistik guna mengembangkan arah observasinya.
Begitu pun para ahli psikologi, linguistik, etno-musikologi dan ahli lainnya, juga
telah menggunakan dan memperbaiki pendekatan mereka dalam usaha mengetahui dan
memahami realita yang diteliti, dengan menggunakan istilah-istilah, seperti
studi kasus, inkuiri interpretatif dan fenomenologi.
(Lincoln
dan Guba 1985: 39), lebih suka menggunakan istilah Naturalistik Inquiry
oleh karena ciri yang menonjol dari penelitian ini adalah cara pengamatan dan
pengumpulan datanya dilakukan dalam latar/ setting alamiah, artinya tanpa
memanipulasi subyek yang diteliti (sebagaimana adanya natur). Menurut
perkembangannya, pendekatan ini bukanlah hal baru. Hanya saja perhatian para
ahli secara intens barulah pada dekade terakhir ini.
Inkuiri
Naturalistik digolongkan ke dalam pendekatan/ penelitian kualitatif untuk
membedakannya dari penelitian kuantitatif. Perbedaan lainnya terletak pada
paradigma yang dipergunakan dalam melihat realita atau sesuatu yang menjadi
obyek studi. Paragidma itu sendiri tidak lain adalah representasi
konseptualisasi tentang sesuatu, atau pandangan terhdap sesuatu. Dengan kata
lain paradigma merupakan suatu cara memahami realita. Dalam penelitian, hal ini
mencakup keyakinan terhadap sifat dasar dari realitas (yang diamati), hubungan
antara orang yang mencoba mengetahui sesuatu (peneliti) dan hal yang mereka
coba ketahui (yang diteliti), peranan/ pengaruh dari nilai-nilai (yang dianut
peneliti) dan variabel-variabel lainnya yang serupa itu.
Saintifik
Santifik
atau sains merupakan kaedah-kaedah yang digunakan untuk menyiasat sesuatu
fenomenon, menceburi ilmu baru, atau membetulkan dan menyepadukan ilmu
terdahulu. Kaeadah ini berasaskan bukti yang boleh cerap, empirik dan boleh
diukur berdasarkan prinsip penakulan. Kaedah saintifik meliputi mengumpulan
data melalui pencerapan dan pengujikajian, serta perumusan dan pengujian hipotesis.
Walaupun prosedur-prosedurnya berbeza untuk
pelbagai bidang penyiasatan, terdapat beberapa ciri nyata yang membezakan
kaedah saintifik daripada kaedah ilmu lain. Penyelidik sains mencadangkan
hipotesis sebagai penjelasan fenomenon, lalu mereka kajian uji kaji untuk
menguji hipotesis itu. Langkah-langkah dalam uji kaji mestilah boleh diulangi
supaya dapat mentaksir kebolehpercayaan hasil ujian pada masa depan. Teori yang
merangkumi bidang yang lebih luas boleh menggabungkan beberapa hipotesis dalam
satu struktur koheren. Ini membantu dalam mengatur hipotesis baru, atau meletakkan
hipotesis dalam konteks.
Ciri-ciri persamaan lain termasuklah pengakuan bahawa proses itu mestilah objektif bagi mengurangkan pentafsiran cenderung. Penguji juga perlu mendokumenkan, mengarkibkan dan berkongsi segala data dan kaedah supaya ia boleh mekaji oleh ahli sains lain, supaya membolehkan penyelidik lain mengesahkan hasil uji kaji dengan melakukan uji kaji semula. Kaedah ini, dipanggil pendedahan penuh, membolehkan kebolehpercayaan data ini diukur secara statistik. (Wikipedia.com)
Ciri-ciri persamaan lain termasuklah pengakuan bahawa proses itu mestilah objektif bagi mengurangkan pentafsiran cenderung. Penguji juga perlu mendokumenkan, mengarkibkan dan berkongsi segala data dan kaedah supaya ia boleh mekaji oleh ahli sains lain, supaya membolehkan penyelidik lain mengesahkan hasil uji kaji dengan melakukan uji kaji semula. Kaedah ini, dipanggil pendedahan penuh, membolehkan kebolehpercayaan data ini diukur secara statistik. (Wikipedia.com)
Humanistik
Humanistik adalah aliran dalam psikologi yang muncul tahun 1950an sebagai reaksi terhadapbehaviorisme dan psikoanalisis. Aliran ini secara eksplisit memberikan perhatian pada
dimensimanusia dari psikologi dan konteks manusia dalam pengembangan
teori psikologis. Permasalah ini dirangkum dalam lima postulat Psikologi
Humanistik dari James Bugental (1964), sebagai berikut:
1.
Manusia tidak bisa direduksi menjadi
komponen-komponen.
2.
Manusia memiliki konteks yang unik di
dalam dirinya.
3.
Kesadaran manusia menyertakan kesadaran
akan diri dalam konteks orang lain.
4.
Manusia mempunyai pilihan-pilihan dan
tanggung jawab.
Pendekatan humanistik ini mempunyai akar pada pemikiran eksistensialisme dengan tokoh-tokohnya seperti Kierkegaard, Nietzsche, Heidegger, dan Sartre.
.Abstrak
Psikologi humanistik atau disebut juga dengan nama psikologi kemanusiaan
adalah suatu pendekatan yang multifaset terhadap pengalaman dan tingkah
laku manusia, yang memusatkan perhatian pada keunikan dan aktualisasi diri
manusia. Bagi sejumlah ahli psikologi humanistik ia adalah alternatif, sedangkan
bagi sejumlah ahli psikologi humanistik yang lainnya merupakan pelengkap bagi
penekanan tradisional behaviorisme dan psikoanalis.
Psikologi humanistik juga memberikan sumbangannya bagi pendidikan
alternatif yang dikenal dengan sebutan pendidikan humanistik (humanistic).
Psikologi humanistik atau disebut juga dengan nama psikologi kemanusiaan
adalah suatu pendekatan yang multifaset terhadap pengalaman dan tingkah
laku manusia, yang memusatkan perhatian pada keunikan dan aktualisasi diri
manusia. Bagi sejumlah ahli psikologi humanistik ia adalah alternatif, sedangkan
bagi sejumlah ahli psikologi humanistik yang lainnya merupakan pelengkap bagi
penekanan tradisional behaviorisme dan psikoanalis.
Psikologi humanistik juga memberikan sumbangannya bagi pendidikan
alternatif yang dikenal dengan sebutan pendidikan humanistik (humanistic).
keseluruhan
melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek emosional, sosial,
mental, dan keterampilan dalam berkarier menjadi fokus dalam model pendidikan
humanistic.
Aliran Psikologi Humanistik selalu mendorong peningkatan kualitas diri
manusia melalui penghargaannya terhadap potensi-potensi positif yang ada pada
setiap insan. Seiring dengan perubahan dan tuntutan zaman, proses pendidikan
pun senantiasa berubah.
mental, dan keterampilan dalam berkarier menjadi fokus dalam model pendidikan
humanistic.
Aliran Psikologi Humanistik selalu mendorong peningkatan kualitas diri
manusia melalui penghargaannya terhadap potensi-potensi positif yang ada pada
setiap insan. Seiring dengan perubahan dan tuntutan zaman, proses pendidikan
pun senantiasa berubah.
sosiologi
evaluatif
dalam
kamus besar bahasa Indonesia evaluatif memiliki arti yaitu yg berhubungan
dengan evaluasi; bersifat evaluasi.
Pembagian dikotomi sosiologi yang di ungkapkan
beberapa tokoh sebagai berikut :
v William Catthon pada
tahun 1966 membagi sosiologi menjadi 2 pradigma yaitu :
1. Animistik
(Animistis)
2. Naturalistik
(Naturalis)
v Anthony Giddens pada
tahun 1967 membagi sosiologi menjadi 2 madab besar yaitu :
1. Madab
Interpretatif
2. Madab
Positivistik
v Martindale pada
tahun 1974 membuat dikotomi sosiologi menjadi 2 paradigma yaitu :
1. Sosiologi
Saintifik
2. Sosiologi
Humanistik
v George Ritzer pada
tahun 1975 membuat dikotomi sosiologi menjadi 3 paradigma yaitu :
1. Paradigma
Fakta Sosial
2. Paradigma
Perilaku Sosial
3. Paradigma
Definisi Sosial
v Margaret M. Poloma pada
tahun 1979 membagi sosiologi menjadi 3 paradigma yaitu :
1. Sosiologi
Naturalistik (Sosiologi Posifistik)
2. Sosiologi
Humanistik (Sosiologi Interpretatif)
3. Sosiologi
Evaluatif
Teori,
Proposisi, Konsep, dan Variabel
Teori
Teori
adalah alat untuk memahami kenyataan. Teori sebagai alat untuk menyatakan
hubungan antara statistik dan fenomena atau gejala yang hendak diteliti.
Pertanyaan ini mengandung banyak arti bahwa teori selalu lahir dari kenyataan
dan selalu diuji pula dalam kenyataan.(Hotman M. Siahaan, 1986:219)
Untuk
membangun teori sosiologi sebagai seperangkat proporsisi yang dinyatakan secara
sistematis dan saling berhubungan secara logis, yang didasarkan teguh pada data
empiris, besar pengaruhnya pada ahli sosiologi yang berkecimpung pada konstuksi
teori formal. Kebanyakan dari mereka yang terlibat dalam konstruksi teori
mencerminkan suatu orientasi neopositivis. Artinya bahwa mereka melihat suatu permasalahan yang erat antara
ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam, sehubungan dengan asumsi-asumsi dasarnya,
teknis metodologis, bentuk logis, dan dasar empiris. Karena komitmen mereka
untuk mendirikan sosiologi sebagai satu ilmu yang empiris, kebanyakan mereka
mencerminkan satu kebulatan tekad untuk tidak percaya pada konsep-konsep
subyektif yang sulit dipahami dan bersifat
tidak empiris.(Doyle Paul Jhonson, 1986:33)
Kita
bisa membagi secara lebih jelas bagaimana sebuah teori mencoba memecahkan suatu
problem teoritis ke dalam empat kategori, yaitu:
a. Teori
memungkinkan adanya ide-ide tambahan untuk pemecahan beberapa problm teoritis
yang ada.
b. Teori
memungkinkan adanya model-model dari buah pikiran dan dengan demikian bisa
menghasilkan suatu diskripsi skematis. Diskripsi itu dapat dibayangkan sebagai
suatu pola dan didalam pola itu ide-ide tersebut tersusun rapi dan serasi.
c. Model-model
memungkinkan adanya hipotesa-hipotesa.
d. Teori
memungkinkan adanya hipotesa-hipotesa.
Proposisi
Proporsisi
adalah suatu pernyataan mengenai suatu hubungan antara dua atau lebih konsep,
khususnya hubungan antara variabel-variabel. Dalam pernyataan-pernyataan serupa
itu, kita berada di awal suatu usaha yang secara tentatif mencoba menjawab
“mengapa”. (Doyle Paul Jhonson, 1986: 40) Dalam kamus besar bahasa Indonesia
proposisi adalah rancangan usulan; Ling ungkapan yg
dapat dipercaya, disangsikan, disangkal, atau dibuktikan benar-tidaknya.
Metode ilmiah yang secara baku dipergunakan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan adalah mencari suatu variabel yang mempengaruhi variabel
pertama. Pernyataan tentang hubungan ini merupakan satu proposisi dan dapat
dinyatakan dengan simbol : X®Y.
(Y mewakili variabel yang nilainya mau kita jelaskan , dan X mewakili variabel
yang menurut perkiraan kita akan menjelaskannya). Suatu pernyataan yang
dirumuskan dalam bentuk seperti itu berarti bahwa kalau nilai X berubah , maka
nilai Y ikut berubah. (Doyle Paul Jhonson, 1986: 41)
Konsep
Konsep
adalah suatu kata (atau pernyataan simbol lainnya) yang menunjuk pada gejala
atau sekelompok gejala; konsep adalah
nama yang kita pergunakan untuk menunjukkan dan mengklasifikasi penerapan dan
pengalaman-pengalaman kita.
Menghubungkan satu nama tertentu dengan suatu benda, pengalaman, atau
kejadian adalah langkah pertama yang sangat penting.
Tetapi
hubungan antaraa pengalaman dan pembentukan konsep lebih kompleks sifatnya
daripada yang terkandung dalam ide yang sederhana di mana fakta baru dapat
menunjuk pada konsep-konsep baru. Di antara fakta “lama” (yang sudah lama dialami),
hubungan-hubungan baru atau pola-pola baru dapat diamati, dan fakta ini mungkin
harus diberi nama dengan satu konsep baru (kalau arti satu konsep yang ada
tidak cukup untuk diperluas lagi). Hal ini mengundang kemungkinan kreativitas
intelektual dalam proses menerima dan mengkonseptualisasi, suatu kemungkinan
yang sudah banyak diperdebatkan oleh para ahli filsafat.(david J. MicKay dalam Doyle Paul Johnson, 1986: 35)
Variabel
Variabel adalah
suatu konsep yang mempunyai variasi
milik bisa menurut jenis atau tingkatannya. Terdapat dua macam variasi variabel
tersebut yaitu variabel independen dan variabel dependen. Dalam diskusi
mengenai proposisi menyangkut variabel idependen sebagai variabel yang utama.
Artinya, kita sudah mengasumsikan bahwa kita mau menjelaskan variasi dalam satu
variabel, dan hal ini memungkinkan kita untuk mengidentifikasi variabel
independen yang dalam pikiran kita menjelaskan variasi ini. Tetapi juga mungkin
untuk mulai dengan variabel independen sebagai variabel utama, dan kemudian
menjajagi variabel-variabel lainnya yang dipengaruhi oleh variabel khusus
ini.dengan variabel independen sebagai variabel utama, perhatian diarahkan pada
akibat-akibat atau konsekuensi-konsekuensinya. Sering tipe analisa ini mulai
dengan mencatat perubahan dalam suatu variabel, dan kemudian
pertanyaan-pertanyaan ditunjukkan ke akibat-akibat yang ditimbulkan perubahan
ini. Logika dasarnya kalu variabel independen merupakan variabel utama, kita
lihat dalam bentuk proposisi sebagi berikut : X ® Y. Tetapi kalau
variabel dependen itu merupakan variabel “X” yang utama, kita berusaha untuk
mengidentifikasi variabel-variabel yang menyebabkannya, atau yang mempengaruhi
nilainya; kalau variabel independen yang merupakan variabel utama (X), maka
yang kita perhatikan adalah melihat bagaimana variabel independen itu
mengakibatkan atau mempengaruhi satu lebih variabel-variabel lainnya (Y). Dalam
beberapa proposisi, keputusan mengenai variabel mana ang independen dan mana
yang dependen tidak bisa ditentukan pasti. Hal ini sangat jelas kalau
hubungannya bersifat saling tergantung. Artinya, setiap variabel mempengaruhi
dan dipengaruhi oleh yang lainnya; keduanya bekerja sebagai variabel dependen
dan independen. Skemanya dapat dilihat sebagai berikut X «Y.
(Doyle Paul Johnson, 1986 : 44-45 )
DAFTAR
PUSTAKA
Heslin, James M..2006. Sosiologi
dengan Pendekatan Membumi. Jakarta: Erlangga
Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori
Sosiologi. Jakarta: Gramedia
Muin, Indarto. 2006. Sosiologi.
Jakarta: Erlangga
Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda ( penyadur: Drs. Alimandan ), CV.
Rajawali, Jakarta: Januari 1985
Siahaan, Hotman M.. 1986. Pengantar
ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta: Erlangga
Soekamto, Soerjono. 1990. Sosiologi
suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali pers
Sunarto, Kamanto. 2000. Pengantar
Sosiologi. Jakarta: LP-FEUI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar