“Kring....kring....kring....” suara telpon
seluler di atas meja samping tempat tidur. Tangan yang masih lemah menari-nari
di atas meja, untuk memastikan letak telepon seluler tersebut, dan mencoba
menghentikan suaranya. Sesaat kemudian ia melihat jam yang berada di dinding
kamarnya. Jam menunjukkan tepat pukul setengah lima, matanya langsung
terbelalak melihat jam. Segera tubuh yang masih lemas karena baru bangun tidur
itu menuju kamar mandi yang letaknya tak jauh dari kamar tidur. Lekas ia seka
muka untuk menghilangkan rasa kantuk. Kemudian ia segera mengambil air wudhu
untuk melaksanakan tugasnya sebagai seorang muslim. Matahari masih enggan menampakkan
wujudnya, angin pagi pun masih terasa begitu dingin.
“Tookk...tookk...tookk...”
suara puntu yang diketuk.
Samar-samar terdengar suara yang
memangil dari luar, “ Andri...Andri... cepat buka pintu, diluar dingin!” suara
yang tak asing bagi Andri. Suara seorang laki-laki yang selama ini ia panggil
ayah.
“Iya, sebentar!” jawabnya sambil
lari menuju pintu yang masih terkunci itu.
“Dasar bodoh, mengapa lama sekali?
Apa kau ingin membunuhku karena kedinginan.?!” Suara yang lantang itu memecah
kesunyian pagi.
Maaf Yah...aku masih sholat.”
Jawabnya dengan terbata-bata.
“Apa?? Kau lebih mementingkan
pekerjaan yang tak penting itu daripada aku ayahmu, dasar anak durhaka!” Bentak
sang ayah pada Andri.
Andri hanya bisa tertunduk, dengan
hati yang tersayat. Kemudian dengan kasarnya sang ayah itu mendorong tubuh
Andri hingga tersungkur ke lantai, air matanya menetes menganak sungai namun
cepat-cepat ia bangkit dan menghapus air matanya. Seperti biasanya ia mulai
menanak nasi dan merebus mie untuk makan paginya sebelum berangkat ke sekolah.
Jam menunjukkan pukul setengah enam dan sang surya dengan malu-malu menebar
sinarnya. Andri lekas sarapan setelah ia ganti bajunya dengan seragam sekolah.
Tak membutuhkan waktu yang lama ia pun berangkat ke sekolah, namun sebelum itu
Andri membuka pintu kamar sang ayah untuk melihat sang ayah yang sedang nyenyak
mengunduh mimpi. Sebenarnya dalam hati kecilnya ingin sekali mencium tangan
sang ayah untuk sekedar berpamitan, namun ia sadar bahwa itu tak akan mungkin
terjadi. Akhirnya ia hanya berbisik di depan pintu.
“ Ayah, aku berangkat...aku mencintaimu
seperti aku mencintai ibu, walau ayah telah membuat hidup kami menjadi
berantakan.” Bisik Andri dengan mengintip sang ayah.
Lekas ia mengendarai motor biru
yang selalu setia menemaninya menimba ilmu. Andri adalah salah seorang siswa di
salah satu SMA swasta favorit di kota tempat tinggalnya. Dia seorang laki-laki
yang rajin dan juga disiplin.
Tak beberapa lama ia sampai di
depan gerbang sekolah, lekas ia parkir kendaraannya, dan ia menuju kelas. Di
depan kelas ia dapati beberapa temannya yang sudah datang, mereka asik dengan
kegiatan mereka. Diantaranya ada yang asik ngerumpi, sekedar membicarakan omong
kosong bualan anak-anak, ada yang asik dengan HP di tangan, ada yang mengerjakan
PR, dan ada yang menyapu kelas. Kelas yang berukuran cukup besar itu terasa
sangat riuh oleh suara-suara teman-temannya. Salam yang ia ucapkan memecah
keriuhan itu, namun beberapa saat kemudian kembali riuh. Andri segera
meletakkan tas dan duduk. Keriuhan yang temen-temannya buat seakan ia hiraukan
dan ingatannya melayang ke masalalunya ketika sebuah desakan ekonomi membuat
sang ayah hilang kendali. dahulu hidup keluarga Andri sangat makmur, Andri
hidup bersama ayah, ibu, dan dua kakaknya yaitu Ilham dan Bima. Namun sebuah
musibah menimpa keluarga itu, sang ayah mendapat PHK karena perusahaan tempat
ayah Andri bekerja mengalami kebangkruan. Seketika ayah yang selama ini ia
kenal sebagai ayah yang bertanggung jawab atas kehidupan keluarga berubah
menjadi seseorang yang tak memiliki tanggung jawab, dan menelantarkan
keluarganya. Setiap hari hanya menghabiskan uang untuk judi dan mabuk-mabukan
hingga membuat berantakan keluarga. Setiap saat dan waktu terjadi pertengkaran,
hingga rumah serasa seperti neraka. Ibu Andri menuntut cerai karena tidak kuat
menerima perlakuan yang tidak selayaknya dari sang suami.
Setelah bercerai, ibu Andri pergi
ke luar negri untuk mencari dapat memenuhi kebutuhannya dan biaya sekolah
Andri, karena sang ibu yakin kalau ia hanya mengandalkan mantan suaminya pasti
itu akan sia-sia saja. Kini Andri hanya hidup bersama ayahnya, setiap hari
hanya makian dan cercaan yang ia dapat. Selama empat tahun ia tinggal bersama
ayahnya hingga Andri telah terbiasa dengan perlakuan sang ayah padanya.
*****
Druttt....druttt....drutt.....
terasa Hp di saku Andri bergetar itu membuat buyar semua lamunannya, segera ia
mengambil Hpnya di saku dan melihat ada sebuah pesan yang masuk.
Ibu : “Andri, tadi ibu sudah mentransfer uang 1jt
untuk membayar uang sekolah.”
Andri : “Iya bu...akan segera aku
batarkan. Kapan rencana ibu akan pulang, rasanya sudah lama sekali aku tidak
mencium tangan ibu.”
Ibu : “Begitupun juga ibu Nak,
tapi bersabarlah semua penderitaan ini pasti akan berakhir.”
“tenggg.....tenggg...tenggg....”
taanda jam pelajaaran pertama akan dimulai.
Andri : “Bu...sudah duulu
ya...pelajaaraan akan segera dimulai. Andri sayang ibu...”
****
Setahun
berlalu dengan cepatnya, namun kehidupan Andri tak kunjung baik, malah semakin
parah saja. Semua benda berharga yang ada dirumah Andri kini ludes dijual dan
juga sebagian diggaadaikan. Motor biru Andri pun kena sasaran sang ayah. Surat
BPKB motor telah disita penggadaian untuk jaminan. Tinggal menunggu bulan atau
tahun saja untuk penggadaian merampas motor itu. Karena sungguh tak mungkin
sang ayah membayar tebusan pada peggadaian. Uang itu hanya habis untuk
foya-foya semata. Andri hanya dapat meminta belas kasih pada Tuhan Yang Maha
Esa.
****
Suatu
malam seperti biasa Andri belajar dan mengerjakan beberapa tugas dari guru.
Malam itu sang ayah pergi dengan motor GL MAX hitam dengan jaket hitam. Begitu
saja keluar rumah tanpa ada sepatah kata pun ia sampaikan pada anak bungsunya
itu. Andri mengintip sang ayah yang memacu morornya dengan kencang dari jendela
kamarnya. Setelah itu segera ia menuju pintu dan mengunci pintu. Karena dia
sangat hafal kalau sang ayah tak akan pulang malam itu dan pulang selepas adzan
subuh.
****
“tik...tik...tik...”
suara jam kamar, seakan suaranya menguasai ruangan karena sudah tak ada lagi
yang lebih keras daarinya. Kadang terdengar suara binatang-binatang malam yang
memeriahkan keheningan malam, dan sesekali terdengar gemuruh mesin motor yang
melintas di jalan.
“tok...tok...tok....”
Suara ketukan pintu.
“Andri.....Andri....
cepat buk pintu!!!” Mengiringi ketukan pintu yang memecah kesuyian malam.
Lekas
Andri bangun dan membuka pintu, di sana bukan sang ayah yang ia dapati
melainkan Pak Tarjo teman sang ayah.
“Ada apa Paman?” tanya Andri.
“Gawat...”
dengan terengah-engah ia mencoba untuk mengeluarkan suara.
“Apanya
yang Gawat Paman?” Andri bertanya kembali, dengan sedikit kebingungan karena
Pak Tarjo tidak berbicara jelas.
“Ayahmu
Ndri!” sambil mengusap peluh yang mengalir di dahinya.
“Ayah??
Kenapa dengan Ayah paman? Dia kenapa?” rasa cemas mulai menggenggam perasaannya
hingga jantungnya terasa sulit berdetak.
“Tadi
kami sempat terlibat cekcok, setelah kami menenggak beberapa gelas alkohol,
kami sama-sama mabuk dan hilang kendali. Tatkla ayahmu langsung menaiki
motornya dan mengemudiknnya dengan begitu kencang, sekitar beberapa detik
kemudian terdengar suara benturan yang begitu keras. Aku langsung menghampiri
sumber suara itu dan kudapati ayahmu telah bersimbah darah. Lekas kubawa dia ke
klinik terdekat namun naas nyawanya tak dapat tertolong.” Jelas Pak Tarjo
dengan mata yang sembab dan suara serak bergetar.
“A....a...apa.?
jangan bercanda paman itu bukan lelucon. Itu tak mungkin terjadi, pasti paman
masih mabuk. Cepat sadarlah paman, dan tarik kata-kata yang telah paman
lontarkan.” Bentak Andri, dengan suara yang sedikit parau.
“Aku
sungguh-sungguh nak! Ini bukan gurauan atau semacamnya.” Bentak Pak Tarjo.
Seketika
tubuh Andri lemas tersungkur di lantai, pipinya dibasahi oleh air mata yang tak
henti-hentinya menetes. Sebuah kenyataan yang taak dapat ia terima, kenyataan
yang begitu menyesakan dada. Kini ia harus tinggal sendiri di rumah tanpa
teman. Ia tak tahu bagaimana cara untuk melanjutkan hidupnya.
****
Lima
bulan telah berlalu sepeninggal sang Ayah, uang kiriman sang ibulah yang ia
andalkan untuk memenuhi kebutuhannya. Kini Andri harus mampu mengatur
pengeluaran.
Dalam
hati Andri terpercik sebuah harapan untuk mengubah kehidupan keluarganya yang
serba kekurangan. Oleh karena itu Andri bertekat untuk meneruskan studinya ke
perguruan tinggi. Oleh karena itu kini dia berusaha keras, dengan belajar
tekun. Usha dan harapannya tercapai, kini ia dapat bersekolah di salalah satu
universitas di kota Yogjakarta. Kota yang ia impi-impikan untuk meneruskan
perjuangan hidupnya.
****
ditunggu kelanjutan ceritanya... mudah-mudahan ada lanjutannya ya Gan...
BalasHapusDalam proses...
Hapusoke.. selalu ditunggu penampakannya...
Hapus