Translate

Jumat, 12 April 2013

Pengantar Sosiologi



Nama sosiologi berasal dari gabungan dua kata yaitu socius dan logos. Dalam bahasa Romawi ( Latin ) socius berarti teman atau sesama dan logos yang artinya ilmu. Jadi, secara harfiah sosiologi berarti membicarakan atau memperbincangkan pergaulan hidup manusia. Pengertian tersebut akhirnya diperluas menjadi ilmu pengetahuan yang membahas dan mempelajari kehidupan manusia dalam masyarakat. (Indarto Muin, 2006:7)

Coser (1977) mengisahkan bahwa Comte semula memberikan nama   social physicsbagi ilmu yang akan diciptakannya itu, lalu mengurungkan niatnya itu karena istilah tersebut telah digunakan tokoh lain, Saint Simon. (Kamanto Sunarto, 2000:3)
Penerapan metode ilmiah pada kehidupan sosial, yang dikenal sebagai positivisme (positivism), yang pertamakali diusulkan oleh Auguste Comte (1798-1857).  Dengan Revolusi Perancis yang masih segar dalam ingatan , Comte meninggalkan Perancis dan pindah ke Paris. Perubahan yang dialaminya tatkala pindah digabungkan dengan perubahan yang dialami di Prancis dalam revolusi, mendorong perhatian Comte pada apa yang mempersatukan masyarakat. Hingga timbul pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari Comte. Saat Comte mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, ia menyimpulkan bahwa cara yang benar untuk menjawabnya adalah dengan menerapkan metode ilmiah  pada kehidupan sosial. Kemudian Comte menamakan ilmu baru ini Sosiologi (Sociology). Comte menekankan bahwa ilmu baru ini tidak hanya akan mengungkapkan prinsip-prinsip sosial, tetapi juga akan menerapkannya pada reformasi sosial. Bagi Comte, menerapkan metode ilmiah pada kehidupan sosial berarti melakukan apa yang disebut “filsafat di belakang meja” menarik kesimpulan dari pengamatan informal terhadap kehidupan sosial. Karena ia yang mengembangkan dan menciptakan sosiologi maka Comte sering dianggap sebagai pendiri sosiologi (James M. Henslin, 2006:6)
Dalam buku lain dikatakan bahwa istilah sosiologi pertama kali dikemukakan oleh ahli filsafat, moralis, dan sekaligus sosiolog Prancis, Aguste Comte, melalui Cours de Philosophie Positive. (Indarto Muin, 2006: 7)

Sosiologi jelas merupakan ilmu sosial yang objeknya adalah masyarakat. Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri karena telah memenuhi segenap unsur-unsur ilmu pengetahuan, yang ciri-ciri utamanya sebagai berikut :
a.       Sosiologi bersifat empiris, yang berarti bahwa ilmu pengetahuan tersebut didasarkan pada observasi terhadap kenyataan dan akal sehat serta hasilnya tidak bersifat spekulatif.
b.      Sosiologi bersifat teoritis, yaitu ilmu pengetahuan tersebut selalu berusaha untuk menyusun abstraksi dari hasil-hasil observasi. Abstraksi tersebut merupakan kerangka unsur-unsur yang tersusun secara logis dan bertujuan untuk menjelaskan hubungan sebab akibat, sehingga menjadi teori
c.       Sosiologi bersifat kumulatif yang berarti bahwa teori-teori sosiologi dibentuk atas dasar teori-teori yang sudah ada dalam arti memperbaiki, memperluas serta memperhalus teori-teori yang lama.
d.      Sosiologi bersifat nonetis, yakni yang dipersoalkan bukanlah buruk-baiknya fakta tertentu, tetapi tujuannya adalah untuk menjelaskan fakta tersebut secara analitis. (Harry M. Johnson dalam Soerjono Soekanto, 1982:13)

Definisi sosiologi
a.       Pitirim Sorokin mengatakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari :
1.      Hubungan dan pengaruh timbal-balik antara aneka macam gejala-gejala sosial (misalnya antara gejala ekonomi dengan agama; keluarga dengan moral; hukum dengan ekonomi; gerakan masyarakat dengan politik dan sebagainya.
2.      Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dan gejala-gejala non sosial( misalnya gejala geografis, biologis, dsb)
3.      Ciri-ciri umum sbgai jenis-jenis gejala sosial.
b.      Roucek dan Warren mengungkapkan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara mausia dalam kelompok-kelompok .
c.       William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff berpendapat bahwa sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya yaitu organisasi sosial.
d.      J.A.A. Van Doorn dan C.J. Lammers berpendapat bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil.
e.         Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi menyatakan bahwa sosiologi atau ilmu masyarakat ialah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok yaitu kaidah-kaidah sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok serta lapisan-lapisan sosial. Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan bersama, umpamanya pengaruh timbal balik antara segi kehidupan ekonomi dengan segi kehidupan politik, antara segi kehidupan hukum, segi kehidupan agama, antara segi kehidupan agama dan segi kehidupan ekonomi dan lain sebagainya. Salah satu proses sosial yg bersifat tersendiri ialah dalam hal terjadinya perubahan-perubahan di dalam struktur sosial. (Soerjono Soekanto, 1990: 19-20)

Fakta Sosial
Menurut Durkheim fakta sosial merupakan cara bertindak, berpikir, dan berperasaan, yang berada di luar individu, dan memiliki kekuatan yang memaksa yang mengendalikannya.
Here, than, is a category of facts with very distinctive characteristics: it consists of ways of acting, thinking, and feeling, eksternal to the individual, and endowed with a power of ceorcion, by reason of which they control him.... these ways of thinking and acting.... constitute the populer domain of sociology (Durkheim dalam Kamanto Sunarto, 2000:11)
Unsur-unsur yang dikemukakan dalam definisi Durkheim : ada cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang bersumber pada suatu kekuatan di luar individu, bersifat memaksa dan mengendalikan individu, dan berada diluar kehendah pribadi individu. (Kamanto Sunarto, 2000:11)

Devinisi sosiologi menurut Emile Durkhim
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari fakta-fakta sosial, yaitu fakta yang berisikan cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang ada di luar individu. Fakta-fakta tersebut mempunyai kekuatan untuk mengendalikan individu. (Emile Durkhim dalam Kamanto Sunarto, 2004:13)

Devinisi sosiologi menurut Mark Weber
Dalam uraian ini Weber menyebutkan pula bahwa sosiologi ialah ilmu yang berupa memahami tindakan sosial. Ini nampak dari definisi berikut ini : “Sociology is a science which attempts the interpretive understanding of social action in order thereby to arrive at a causal explanation of it’s course effects. (Weber dalam Kamanto Sunarto, 2000:7)

Sosiologi Adalah Ilmu Berparadikma Ganda
Status Paradigma Sosiologi
Dalam paparan awalnya ini penulis buku menggambarkan dan menjelaskan tentang asal-usul lahirnya sebuah ilmu sosiologi. Dimana penulis menerangkan sejarah lahir dan terbentuknya cabang ilmu ini mulai pemisahan diri dari filsafat positif hingga memiliki nilai empiris bahkan terbentuknya paradigma sosiologi. Thomas Kuhn sebagai penggagas konsep tentang istilah pertamakali paradigma menempati posisi sentral ditengah perkembangan sosiologi hingga menempati kurun dekade yang cukup lama.
Gagasan Kuhn mengenai paradigma inilah yang mendorong generasi setelahnya yaitu Robert Friederich, Lodahl dan Cordon, Philips, Efrat ikut mempopulerkan istilah paradigma yang digagas oleh Kuhn. Kuhn melihat bahwa ilmu pengetahuan pada waktu tertentu didominasi oleh satu paradigma tertentu. Yakni suatu pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) dari suatu cabang ilmu.
Lantas, istilah Kuhn ini menjadi suatu yang sangat tidak memiliki kejelasan hingga timbul istilah paradigma dipergunakan tak kurang dari dua puluh satu konsep paradigma yang kemudian direduksir oleh Masterman menjadi 3 bagian besar yaitu :
1.      Paradigma Metafisik
2.      Paradigma Sosiologi
3.      Paradigma Konstrak
Sehingga oleh Ritzer dapat ditarik kesimpulan bahwa sosiologi itu terdiri atas kelipatan beberapa paradigma. Dimana diantaranya terdapat pergulatan pemikiran yang terjelma dalam eksemplar, teori-teori, metode, serta perangkat yang digunakan masing-masing komunitas ilmuwan yang termasuk kedalam paradigma tertentu. (George Ritzer, 1985: 1-9)

Paradigma Fakta Sosial
Fakta sosial inilah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi. Fakta social dinyatakan oleh Emile Durkheim sebagaibarang sesuatu (Thing) yang berbeda dengan ide. Barang sesuatu menjadi objek penyelidikan dari seluruh ilmu pengetahuan. Ia tidak dapat dipahami melalui kegiatan mental murni (spekulatif). Tetapi untuk memahaminya diperlukan penyusunan data riil diluar pemikiran manusia. Fakta sosial ini menurut Durkheim terdiri atas dua macam :
1.      Dalam bentuk material : Yaitu barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap, dan diobservasi. Fakta sosial inilah yang merupakan bagian dari dunia nyata contohnya arsitektur dan norma hukum.
2.      Dalam bentuk non-material : Yaitu sesuatu yang ditangkap nyata ( eksternal ). Fakta ini bersifat inter subjective yang hanya muncul dari dalam kesadaran manusia, sebagai contao egoisme, altruisme, dan opini.
Pokok persoalan yang harus menjadi pusat perhatian penyelidikan sosiologi menurut paradigma ini adalah fakta-fakta sosial. Secara garis besar fakta sosial terdiri atas dua tipe, masing-masing adalah struktur sosial dan pranata sosial. Secara lebih terperinci fakta sosial itu terdiri atas : kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, system sosial, peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan dan sebagainya. Menurut Peter Blau ada dua tipe dasar dari fakta sosial :
Nilai-nilai umum ( common values )
Norma yang terwujud dalam kebudayaan atau dalam subkultur.
Ada empat varian teori yang tergabung ke dalam paradigma fakta sosial ini. Masing-masing adalah :
1. Teori Fungsionalisme-Struktural, yaitu teori yang menekankan kepada keteraturan (order) dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Konsep-konsep utamanya adalah : fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifestasi, dan keseimbangan.
2. Teori Konflik, yaitu teori yang menentang teori sebelumnya (fungsionalisme-struktural) dimana masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus diantar unsure-unsurnya.
3. Teori Sistem, dan
4. Teori Sosiologi Makro
Dalam melakukan pendekatan terhadap pengamatan fakta sosial ini dapat dilakukan dengan berbagai metode yang banyak untuk ditempuh, baik interviu maupun kuisioner yang terbagi lagi menjadi berbagai cabang dan metode-metode yang semakin berkembang. Kedua metode itulah yang hingga kini masih tetap dipertahankan oleh penganut paradigma fakta sosial sekalipun masih adanya terdapat kelemahan didalam kedua metode tersebut. (George Ritzer, 1985: 13-33)


Paradigma Definisi Sosial
Paradigma pada definisi ini mengacu pada apa yang ditegskan oleh Weber sebagai tindakan sosial antar hubungan social. Inti tesisnya adalah “ tindakan yang penuh arti “ dari individu. Yang dimaksudkannya adalah sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Ada tiga teori yang termasuk kedalam paradigma definisi sosial ini. Masing-masing : Teori Aksi (action theory), Interaksionisme Simbolik (Simbolik Interactionism), dan Fenomenologi (Phenomenology).
Ketiga teori diatas mempunyai kesamaan ide dasarnya bahwa menurut pandangannya : manusia adalah merupakan aktor yang kreatif dari realitas sosialnya. Selain itu dalam ketiga pembahasan ini pula mempunyai cukup banyak kebebasan untuk bertindak diluar batas kontrol dari fakta sosial itu. Sesuatu yang terjadi didalam pemikiran manusia antara setiap stimulus dan respon yang dipancarkan, menurut ketiga teori ini adalah merupakan hasil tindakan kreatif manusia. Dan hal inilah yang menjadi sasaran perhatian paradigma definisi sosial. Sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa penganut ketiga teori yang termasuk kedalam paradigma definisi sosial ini membolehkan sosiolog untuk memandang manusia sebagai pencipta yang relatif bebas didalam dunia sosialnya.
Disini pula terletak perbedaan yang sebenarnya antara paradigma definisi sosial ini dengan paradigma fakta sosial. Paradigma fakta sosial memandang bahwa perilaku manusia dikontrol oleh berbagai norma, nilai-nilai serta sekian alatpengendalian sosial lainnya. Sedangkan perbedaannya dengan paradigma perilaku sosial adalah bahwa yang terakhir ini melihat tingkahlaku mansuia sebagai senantiasa dikendalikan oleh kemungkinan penggunaan kekuatan (re-enforcement). (George Ritzer, 1985: 37-63)

Paradigma Perilaku Sosial
Seperti yang dipaparkan pembahasan sebelumnya, bahwa paradigma ini memiliki perbedaan yang cukup prinsipil dengan paradigma fakta sosial yang cenderung perilaku manusia dikontrol oleh norma. Secara singkat pokok persoalan sosiologi menurut paradigma ini adalah tingkahlaku individu yang brelangsung dalam hubungannya dengan faktor lingkungan yang menghasilkan akibat-akibat atau perubahan dalam faktor lingkungan menimbulkan yang berpengaruh terhadap perubahan tingkahlaku. Jadi terdapat hubungan fungsional antara tingkahlaku dengan perubahan yang terjadi dalam lingkungan aktor.
Penganut paradigma ini mengaku memusatkan perhatian kepada proses interaksi. Bagi paradigma ini individu kurang sekali memiliki kebebasan. Tanggapan yang diberikannya ditentukan oleh sifat dasar stimulus yang dating dari luar dirinya. Jadi tingkahlaku manusia lebih bersifat mekanik dibandingkan dengan menurut pandangan paradigma definisi sosial.
Ada dua teori yang termasuk kedalam paradigma perilaku sosial.
1.      Behavioral Sociology Theory, teori ini memusatkan perhatiannya pada hubungan antara akibat dari tingkahlaku yang terjadi di dalam lingkungan aktor dengan tingkahlaku aktor, khususnya yang dialami sekarang oleh si aktor.
2.      Exchange Theory, teori ini dibangun dengan maksud sebagai rekasi terhadap paradigma fakta sosial, terutama menyerang ide Durkheim secara langsung dari tiga jurusan :
Ø  Pandangannya tentang emergence
Ø  Pandangannya tentang psikologi
Ø  Metode penjelasan dari Durkheim
Paradigma perilaku sosial ini dalam penerapan metodenya dapat pula menggunakan dengan dua metode sebelumnya yaitu kuisioner, interview, dan observasi. Namun demikian, paradigma ini lebih banyak menggunakan metode eksperimen dalam penelitiannya. (George Ritzer, 1985: 69-81)

Perbedaan Antar Paradigma (Suatu Penilaian)
Melalui penjelasan-penjelasan singkat diketiga bab diatas, maka tugas bab ini adalah mencari perbedaan-perbedaan yang terjadi diketiga paradigma diatas. Satu hal yang penting untuk diangkat adalah sisi point dari bab yang cukup panjang ini adalah dengan membaginya menjadi beberapa pointer-pointer penting, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.      Behaviorisme selain disukai banyak sosiolog juga merupakan perspektif utama sosiologi kontemporer. Sebagian besar analisa sosiologi mengabaikan arti penting behaviorisme.
2.      Konsepsi umum yang memisahkan antara teori fungsionalisme struktural dan teori konflik adalah menyesatkan. Kedua teori itu lebih banyak unsur persamaannya ketimbang perbedaannya, karena keduanya tercakup dalam satu paradigma. Perbedaan fundamental dalam sosiologi terdapat diantara ketiga paradigma yang telah dibicarakan.
3.      Implikasi lain ialah adanya hubungan antara teori dan metode yang selalu dikira dipraktekkan secara terpisah satu sama lain. Umumnya terdapat keselarasan antara teori dan metode.
4.      Ada irrasionalitas dalam sosiologi. Kebanyakan sosiolog yang terlibat dalam pekerjaan teoritis dan metodologis tidak memahami kaitan erat antara keduanya. Teoritisi yang mengira bahwa mereka beroposisi sama sekali antara yang satu dengan yang lain (antara teori konflik dan fungsionalisme struktural), nyatanya berkaitan satu sama lain. Terlihat bahwa peneliti sering memakai metode yang tak cocok untuk mencapai yujuan penelitian mereka.
5.      Terakhir dan terpenting, pertentangan antar paradigma sosiologi sangat bersifat politis. Tiap paradigma bersaing disetiap bidang sosiologi. Kebanyakan upaya dicurahkan semata-mata untuk menyerang lawan dari paradigma lain dengan berondongan kata-kata yang berlebih-lebihan. Seharusnya kita mencurahkan waktu sesedikit mungkin untuk menyerang lawan dan sebanyak-banyaknya untuk memahami pendapat mereka. Kita sudah semestinya mulai memahami bagaimana caranya memanfaatkan pemikiran paradigma lain guna mengembangkan perspektif yang lebih menyatu. (George Ritzer, 1985: 85-121)

Menuju Paradigma Sosiologi Yang Terpadu
Paradigma Sosiologi yang terpadu itu harus menjelaskan :
- kesatuan makro-obyektif seperti birokrasi,
- struktur makro-subyektif seperti kultur,
- fenomena mikro-obyektif seperti pola-pola imteraksi sosial, dan
- fakta-fakta mikro-subyektif seperti proses pembentukan realitas.

Paradigma fakta sosial memusatkan perhatian terutama kepada realitas sosial pada tingkatan makro-obyektif dan makro-subyektif. Paradigma definisi sosial memusatkan perhatian kepada realitas sosial pada tingkatan mikro-subyektif dan sebagai mikro-obyektif yang tergantung kepada proses-proses mental (tindakan). Paradigma perilaku sosial menjelaskan sebagian realitas sosial pada tingkatan mikro-obyektif yang tak tercakup kepada proses mental atau proses berfikir, yakni yang menyangkut tingkahlaku yang semata-mata dihasilkan stimuli yang dating dari luar diri actor, yang disini disebut sebagai ‘behavior’ itu. (George Ritzer, 1985: 125-147)

Dikotomi sosiologi

Positifistik :
Positivistik merupakan aliran filsafat yaitu positivisme berasal dari kata “positif”, ata positif disini dapat diartikan dengan factual yaitu sesuatu yang berdasarkan fakta. Positivisme mengutamakan pengalaman, hanya saja berbeda dengan Empirisme Inggris yang menerima pengalaman batiniah/subjektif sebagai sumber pengetahuan, positivisme tidak menerima sumber pengetahuan melalui pengalaman batiniah tersebut. Ia hanya mengandalkan fakta-fakta belaka. Paham positivisme dalam usaha memecahkan suatu masalah di masyarakat bertitik tolak dari konsep, teori, dan hukum yang sudah mapan yang mungkin tidak relevan untuk situasi sosial yang khas dari masyarakat yang diteliti dan kurang mementingkan kepentingan praktis.
 Pada kamus besar bahasa Indonesia positivistik berarti pasti; tentu; tegas.

Interpretatif
Lahirnya teori interpretatif, menurut Gibbons, banyak memunculkan salah pengertian dan salah tanggap dari pihak pengritik maupun membelanya. Salah satu dari sekian salah paham itu adalah dikotomi antara penjelasan (explanation) dan pemahaman (understanding). Menurut pembacaan ini teori interpretatif bertujuan untuk memahami, sementara metode ilmu alam bertujuan untuk menjelaskan. Sebenarnya para teorisi interpretatif menolak dikotomi ini. Usaha untuk memahami arti intersubyektif yang tersimpan dalam kehidupan sosial merupakan usaha untuk menjelaskan mengapa orang bertindak dengan sebuah cara dan tidak dengan cara yang lain... salah pengertian kedua terhadap teori interpretatif menegaskan bahwa pemahaman (explanation) meniscayakan semua penelitian sosial dapat direduksi menjadi tipe-tipe analisis bahasa dengan mengorbankan tindakan sosialnya

Sedang  dalam kamus bahasa Indonesia interpretatif adalah bersifat adanya kesan, pendapat, dan pandangan; berhubungan dengan adanya tafsiran

Naturalistik
Para sosiolog juga telah mengkombinasikan teknik-teknik survei dengan pendekatan naturalistik guna mengembangkan arah observasinya. Begitu pun para ahli psikologi, linguistik, etno-musikologi dan ahli lainnya, juga telah menggunakan dan memperbaiki pendekatan mereka dalam usaha mengetahui dan memahami realita yang diteliti, dengan menggunakan istilah-istilah, seperti studi kasus, inkuiri interpretatif dan fenomenologi.   
(Lincoln dan Guba 1985: 39), lebih suka menggunakan istilah Naturalistik Inquiry  oleh karena ciri yang menonjol dari penelitian ini adalah cara pengamatan dan pengumpulan datanya dilakukan dalam latar/ setting alamiah, artinya tanpa memanipulasi subyek yang diteliti (sebagaimana adanya natur). Menurut perkembangannya, pendekatan ini bukanlah hal baru. Hanya saja perhatian para ahli secara intens barulah pada dekade terakhir ini.
Inkuiri Naturalistik digolongkan ke dalam pendekatan/ penelitian kualitatif untuk membedakannya dari penelitian kuantitatif. Perbedaan lainnya terletak pada paradigma yang dipergunakan dalam melihat realita atau sesuatu yang menjadi obyek studi. Paragidma itu sendiri tidak lain adalah representasi konseptualisasi tentang sesuatu, atau pandangan terhdap sesuatu. Dengan kata lain paradigma merupakan suatu cara memahami realita. Dalam penelitian, hal ini mencakup keyakinan terhadap sifat dasar dari realitas (yang diamati), hubungan antara orang yang mencoba mengetahui sesuatu (peneliti) dan hal yang mereka coba ketahui (yang diteliti), peranan/ pengaruh dari nilai-nilai (yang dianut peneliti) dan variabel-variabel lainnya yang serupa itu.

Saintifik
Santifik atau sains merupakan kaedah-kaedah yang digunakan untuk menyiasat sesuatu fenomenon, menceburi ilmu baru, atau membetulkan dan menyepadukan ilmu terdahulu. Kaeadah ini berasaskan bukti yang boleh cerap, empirik dan boleh diukur berdasarkan prinsip penakulan. Kaedah saintifik meliputi mengumpulan data melalui pencerapan dan pengujikajian, serta perumusan dan pengujian hipotesis. Walaupun prosedur-prosedurnya berbeza untuk pelbagai bidang penyiasatan, terdapat beberapa ciri nyata yang membezakan kaedah saintifik daripada kaedah ilmu lain. Penyelidik sains mencadangkan hipotesis sebagai penjelasan fenomenon, lalu mereka kajian uji kaji untuk menguji hipotesis itu. Langkah-langkah dalam uji kaji mestilah boleh diulangi supaya dapat mentaksir kebolehpercayaan hasil ujian pada masa depan. Teori yang merangkumi bidang yang lebih luas boleh menggabungkan beberapa hipotesis dalam satu struktur koheren. Ini membantu dalam mengatur hipotesis baru, atau meletakkan hipotesis dalam konteks.
Ciri-ciri persamaan lain termasuklah pengakuan bahawa proses itu mestilah objektif bagi mengurangkan pentafsiran cenderung. Penguji juga perlu mendokumenkan, mengarkibkan dan berkongsi segala data dan kaedah supaya ia boleh mekaji oleh ahli sains lain, supaya membolehkan penyelidik lain mengesahkan hasil uji kaji dengan melakukan uji kaji semula. Kaedah ini, dipanggil pendedahan penuh, membolehkan kebolehpercayaan data ini diukur secara statistik.
(Wikipedia.com)

Humanistik
Humanistik adalah aliran dalam psikologi yang muncul tahun 1950an sebagai reaksi terhadapbehaviorisme dan psikoanalisis. Aliran ini secara eksplisit memberikan perhatian pada dimensimanusia dari psikologi dan konteks manusia dalam pengembangan teori psikologis. Permasalah ini dirangkum dalam lima postulat Psikologi Humanistik dari James Bugental (1964), sebagai berikut:
1.    Manusia tidak bisa direduksi menjadi komponen-komponen.
2.    Manusia memiliki konteks yang unik di dalam dirinya.
3.    Kesadaran manusia menyertakan kesadaran akan diri dalam konteks orang lain.
4.    Manusia mempunyai pilihan-pilihan dan tanggung jawab.
5.    Manusia bersifat intensional, mereka mencari makna, nilai, dan memiliki kreativitas.
Pendekatan humanistik ini mempunyai akar pada pemikiran eksistensialisme dengan tokoh-tokohnya seperti Kierkegaard, Nietzsche, Heidegger, dan Sartre.
.Abstrak
Psikologi humanistik atau disebut juga dengan nama psikologi kemanusiaan
adalah suatu pendekatan yang multifaset terhadap pengalaman dan tingkah
laku manusia, yang memusatkan perhatian pada keunikan dan aktualisasi diri
manusia. Bagi sejumlah ahli psikologi humanistik ia adalah alternatif, sedangkan
bagi sejumlah ahli psikologi humanistik yang lainnya merupakan pelengkap bagi
penekanan tradisional behaviorisme dan psikoanalis.
Psikologi humanistik juga memberikan sumbangannya bagi pendidikan
alternatif yang dikenal dengan sebutan pendidikan humanistik (humanistic).
keseluruhan melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek emosional, sosial,
mental, dan keterampilan dalam berkarier menjadi fokus dalam model pendidikan
humanistic.
Aliran Psikologi Humanistik selalu mendorong peningkatan kualitas diri
manusia melalui penghargaannya terhadap potensi-potensi positif yang ada pada
setiap insan. Seiring dengan perubahan dan tuntutan zaman, proses pendidikan
pun senantiasa berubah.

sosiologi evaluatif
dalam kamus besar bahasa Indonesia evaluatif memiliki arti yaitu yg berhubungan dengan evaluasi; bersifat evaluasi.
Pembagian dikotomi sosiologi yang di ungkapkan beberapa tokoh sebagai berikut :
v  William Catthon pada tahun 1966 membagi sosiologi menjadi 2 pradigma yaitu :
1.      Animistik (Animistis)
2.      Naturalistik (Naturalis)
v  Anthony Giddens pada tahun 1967 membagi sosiologi menjadi 2 madab besar yaitu :
1.      Madab Interpretatif
2.      Madab Positivistik
v  Martindale pada tahun 1974 membuat dikotomi sosiologi menjadi 2 paradigma yaitu :
1.      Sosiologi Saintifik
2.      Sosiologi Humanistik
v  George Ritzer pada tahun 1975 membuat dikotomi sosiologi menjadi 3 paradigma yaitu :
1.      Paradigma Fakta Sosial
2.      Paradigma Perilaku Sosial
3.      Paradigma Definisi Sosial
v  Margaret M. Poloma pada tahun 1979 membagi sosiologi menjadi 3 paradigma yaitu :
1.      Sosiologi Naturalistik (Sosiologi Posifistik)
2.      Sosiologi Humanistik (Sosiologi Interpretatif)
3.      Sosiologi Evaluatif
Teori, Proposisi, Konsep, dan Variabel
Teori
Teori adalah alat untuk memahami kenyataan. Teori sebagai alat untuk menyatakan hubungan antara statistik dan fenomena atau gejala yang hendak diteliti. Pertanyaan ini mengandung banyak arti bahwa teori selalu lahir dari kenyataan dan selalu diuji pula dalam kenyataan.(Hotman M. Siahaan, 1986:219)
Untuk membangun teori sosiologi sebagai seperangkat proporsisi yang dinyatakan secara sistematis dan saling berhubungan secara logis, yang didasarkan teguh pada data empiris, besar pengaruhnya pada ahli sosiologi yang berkecimpung pada konstuksi teori formal. Kebanyakan dari mereka yang terlibat dalam konstruksi teori mencerminkan suatu orientasi neopositivis. Artinya bahwa mereka  melihat suatu permasalahan yang erat antara ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam, sehubungan dengan asumsi-asumsi dasarnya, teknis metodologis, bentuk logis, dan dasar empiris. Karena komitmen mereka untuk mendirikan sosiologi sebagai satu ilmu yang empiris, kebanyakan mereka mencerminkan satu kebulatan tekad untuk tidak percaya pada konsep-konsep subyektif  yang sulit dipahami dan bersifat tidak empiris.(Doyle Paul Jhonson, 1986:33)
Kita bisa membagi secara lebih jelas bagaimana sebuah teori mencoba memecahkan suatu problem teoritis ke dalam empat kategori, yaitu:
a.       Teori memungkinkan adanya ide-ide tambahan untuk pemecahan beberapa problm teoritis yang ada.
b.      Teori memungkinkan adanya model-model dari buah pikiran dan dengan demikian bisa menghasilkan suatu diskripsi skematis. Diskripsi itu dapat dibayangkan sebagai suatu pola dan didalam pola itu ide-ide tersebut tersusun rapi dan serasi.
c.       Model-model memungkinkan adanya hipotesa-hipotesa.
d.      Teori memungkinkan adanya hipotesa-hipotesa.
Proposisi
Proporsisi adalah suatu pernyataan mengenai suatu hubungan antara dua atau lebih konsep, khususnya hubungan antara variabel-variabel. Dalam pernyataan-pernyataan serupa itu, kita berada di awal suatu usaha yang secara tentatif mencoba menjawab “mengapa”. (Doyle Paul Jhonson, 1986: 40) Dalam kamus besar bahasa Indonesia proposisi adalah rancangan usulan;  Ling ungkapan yg dapat dipercaya, disangsikan, disangkal, atau dibuktikan benar-tidaknya.
Metode ilmiah yang secara baku dipergunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan adalah mencari suatu variabel yang mempengaruhi variabel pertama. Pernyataan tentang hubungan ini merupakan satu proposisi dan dapat dinyatakan dengan simbol : X®Y. (Y mewakili variabel yang nilainya mau kita jelaskan , dan X mewakili variabel yang menurut perkiraan kita akan menjelaskannya). Suatu pernyataan yang dirumuskan dalam bentuk seperti itu berarti bahwa kalau nilai X berubah , maka nilai Y ikut berubah. (Doyle Paul Jhonson, 1986: 41)
Konsep
Konsep adalah suatu kata (atau pernyataan simbol lainnya) yang menunjuk pada gejala atau sekelompok gejala; konsep adalah nama yang kita pergunakan untuk menunjukkan dan mengklasifikasi penerapan dan pengalaman-pengalaman kita.  Menghubungkan satu nama tertentu dengan suatu benda, pengalaman, atau kejadian adalah langkah pertama yang sangat penting.
Tetapi hubungan antaraa pengalaman dan pembentukan konsep lebih kompleks sifatnya daripada yang terkandung dalam ide yang sederhana di mana fakta baru dapat menunjuk pada konsep-konsep baru. Di antara fakta “lama” (yang sudah lama dialami), hubungan-hubungan baru atau pola-pola baru dapat diamati, dan fakta ini mungkin harus diberi nama dengan satu konsep baru (kalau arti satu konsep yang ada tidak cukup untuk diperluas lagi). Hal ini mengundang kemungkinan kreativitas intelektual dalam proses menerima dan mengkonseptualisasi, suatu kemungkinan yang sudah banyak diperdebatkan oleh para ahli filsafat.(david  J. MicKay dalam Doyle Paul Johnson, 1986: 35)
Variabel
Variabel adalah suatu  konsep yang mempunyai variasi milik bisa menurut jenis atau tingkatannya. Terdapat dua macam variasi variabel tersebut yaitu variabel independen dan variabel dependen. Dalam diskusi mengenai proposisi menyangkut variabel idependen sebagai variabel yang utama. Artinya, kita sudah mengasumsikan bahwa kita mau menjelaskan variasi dalam satu variabel, dan hal ini memungkinkan kita untuk mengidentifikasi variabel independen yang dalam pikiran kita menjelaskan variasi ini. Tetapi juga mungkin untuk mulai dengan variabel independen sebagai variabel utama, dan kemudian menjajagi variabel-variabel lainnya yang dipengaruhi oleh variabel khusus ini.dengan variabel independen sebagai variabel utama, perhatian diarahkan pada akibat-akibat atau konsekuensi-konsekuensinya. Sering tipe analisa ini mulai dengan mencatat perubahan dalam suatu variabel, dan kemudian pertanyaan-pertanyaan ditunjukkan ke akibat-akibat yang ditimbulkan perubahan ini. Logika dasarnya kalu variabel independen merupakan variabel utama, kita lihat dalam bentuk proposisi sebagi berikut : X ® Y. Tetapi kalau variabel dependen itu merupakan variabel “X” yang utama, kita berusaha untuk mengidentifikasi variabel-variabel yang menyebabkannya, atau yang mempengaruhi nilainya; kalau variabel independen yang merupakan variabel utama (X), maka yang kita perhatikan adalah melihat bagaimana variabel independen itu mengakibatkan atau mempengaruhi satu lebih variabel-variabel lainnya (Y). Dalam beberapa proposisi, keputusan mengenai variabel mana ang independen dan mana yang dependen tidak bisa ditentukan pasti. Hal ini sangat jelas kalau hubungannya bersifat saling tergantung. Artinya, setiap variabel mempengaruhi dan dipengaruhi oleh yang lainnya; keduanya bekerja sebagai variabel dependen dan independen. Skemanya dapat dilihat sebagai berikut X «Y. (Doyle Paul Johnson, 1986 : 44-45 )

DAFTAR PUSTAKA

Heslin, James M..2006. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi. Jakarta: Erlangga
Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi. Jakarta: Gramedia
Muin, Indarto. 2006. Sosiologi. Jakarta: Erlangga
Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda ( penyadur: Drs. Alimandan ), CV. Rajawali, Jakarta: Januari 1985
Siahaan, Hotman M.. 1986. Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta: Erlangga
Soekamto, Soerjono. 1990. Sosiologi suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali pers
Sunarto, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi. Jakarta: LP-FEUI
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar